JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Indonesia berpotensi besar menjadi pusat keuangan syariah dunia. Gerakan Riba Amnesty bisa menjadi bahtera yang mengantar perbankan syariah nasional menuju cita-cita tersebut.
Riba Amnesty merupakan gerakan hijrah dan komitmen meninggalkan riba. Mengemuka di tengah gegap gempita pemberitaan tax amnesty, isu Riba Amnesty juga membetot perhatian publik. Bahkan, perbincangan tentang apa dan bagaimana gerakan ini menjadi isu viral di ranah media sosial.
Tema dan tujuan besar garakan Riba Amnesty adalah upaya memperoleh ampunan dari Allah SWT, dengan cara bertaubat, berhijrah,dan meninggalkan riba. Tujuan ini berlaku bagi mereka yang beriman, dan semua orang yang mencintai kebaikan untuk dirinya, keluarga dan masyarakat.
Bukan perkara sulit bagi nasabah atau konsumen keuangan syariah mendapatkan Riba Amnesty. Mengutip laman resmi BNI Syariah, paling tidak, ada empat cara mudah memperoleh Riba Amnesty. Yakni :
1.Berhenti (iqla) dari praktek riba
2.Menyesali (nadam) atas transaksi yang pernah dilakukan
3.Bertekad (‘azam) untuk tidak melalukan riba lagi
4.Menggunakan sistem non-riba
Setelah cara-cara itu dilaksankan, nasabah tinggal bersabar untuk meraih manfaat Riba Amnesty. Yakni :
1.Rizki lebih berkah
2.Mendapatkan gaya hidup lebih tenteram dan Hasanah
3.Terhindar dari riba, dengan menjalankan bisnis lebih adil dan transparan
4.Turut mempercepat pertumbuhan ekonomi syariah
Kesabaran menuju manfaat tersebut seyogyanya dibarengi dengan keihlasan dan kesungguhan menjalankan metode Riba Amnesty. Metode ini bersandar kepada tiga sikap utama, yakni : taubat, hijrah, dan tawakal.
Metode taubat dilakukan melalui permohonan ampun kepada Allah SWT. Kemudian, hijrah diwujudkan dengan cara mengelola keuangan sesuai prinsip syariah. Selanjuutnya, metode tawakal dilaksanakan dengan berserah diri kepada Allah SWT dan meninggalkan sisa riba.
Catatan atau poin-poin penting di atas, sejatinya mempertegas arti serta posisi strategis Riba Amnesty sebagai gerakan moral yang mampu menderukan ‘mesin’ keuangan syariah. Apalagi, seiring perjalanan waktu, transaksi keuangan syariah semakin memantik perhatian banyak kalangan. Berjuta keuntungan transaksi non-konvensional ini pun semakin sering diperbincangkan.
Begitu menariknya isu keuangan syariah, hingga membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak kuasa menahan harapannya. Saat bersilaturahim dengan pemangku keuangan syariah terkait sewindu penerbitan Sukuk Negara di Istana Negara Jakarta, Jumat (23/12/2016), Presiden melontarkan cita-citanya. Presiden menginginkan agar Jakarta menjadi pusat keuangan syariah dunia.
"Saya pernah sampaikan ke Ketua Dewan Komisioner OJK, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia wajar jika Jakarta kita jadikan sebagai pusat keuangan syariah internasional," kata Jokowi.
"Kita memiliki potensi dan kekuatan, kenapa tidak kita manfaatkan," lanjutnya.
Menurut Presiden, Bangsa Indonesia patut berbangga sebagai negara penerbit Sukuk Negara atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) terbesar dalam bentuk dolar AS. Hingga 30 November 2016, penerbitan SBSN di pasar internasional mencapai US$ 10,15 miliar dengan outstanding US$ 9,5 miliar.
"Artinya kita punya potensi besar dan itu berperan penting dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia," tegasnya.
Mengutip data dari Kementerian Agama Republik Indonesia, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam (Muslim) pada 2013 mencapai 207.176.162 jiwa. Dengan jumlah tersebut, pemeluk Agama Islam menempati persentase 87,21% dari total pemeluk agama di Tanah Air sebanyak 237.641.326 jiwa.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meyakini, dengan penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim, sistem keuangan syariah masih sangat berpotensi besar. Indikasinya adalah penerbitan sukuk oleh pemerintah, yang saat ini jumlahnya sudah mencapai lebih dari 200 triliun.
"Dan kemarin waktu diterbitkan terakhir, retail sukuk itu jumlah investornya mencapai 48 ribu orang. Itu menunjukkan potensi yang luar biasa," tegas Sri Mulyani.
Potensi yang disebut oleh Sri Mulyani, sejatinya berbanding lurus dengan realitas pencapaian transaksi keuangan syariah sejak tahun 2008. Mengapa dihitung sejak 2008? karena pada tahun itulah, transaksi keuangan syariah memiliki payung hukum yang sangat kuat. Pada tahun tersebut, persisnya 16 Juli 2008, telah terbit UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah.
"Sejak itu, kita buat segala perangkat pendukungnya. Mulai dari UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), termasuk merevisi amandemen UU perasuransian, semuanya sudah kita miliki," terang Sri Mulyani.
Merujuk kepada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah cukup menggembirakan. Pada 2008, bertepatan dengan lahirnya payung hukum transaksi keuangan syariah, terkumpul dana pihak ketiga sebesar Rp 35.449 miliar.
Pencapaian tersebut memiliki tren menanjak pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2009, dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun perbankan syariah mencapai Rp 50.266 miliar. Kemudian, naik menjadi Rp 72.807 miliar pada 2010. Selanjutnya, lompat menjadi Rp 110.910 miliar pada 2011.
Tren menanjak terus berlanjut pada 2012 hingga 2015. Dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun pada 2012 sebesar Rp 140.547 miliar, lalu Rp 171.900 miliar pada 2013, berikutnya melesat ke angka Rp 204.404 miliar pada 2014. Terakhir, pada 2015, perbankan syariah di Indonesia mampu mengumpulkan dana pihak ketiga sebesar Rp 216.985 miliar.
Bercermin kepada angka-angka di atas, tidak berlebihan jika Presiden Jokowi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, potensi keuangan syariah di Tanah Air teramat sangat besar. Tidak berlebihan pula, jika potensi itu diharapkan akan menempatkan Indonesia sebagai pusat keuangan syariah dunia. Dan tentunya, tidak berlebihan juga jika gerakan Riba Amnesty ditugaskan untuk mewujudkannya.