JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Ketua DPR RI Setya Novanto menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) investigatif BPK RI atas perpanjangan perjanjian kerjasama pengelolaan dan pengoperasian PT Jakarta International Container Terminal (JICT) antara PT Pelindo II dengan Hutchison Port Holding (HPH).
Laporan hasil investigasi ini diserahkan langsung Ketua BPK RI Moermahadi Soerja Djanegara di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (13/6/2017).
Dalam laporannya, BPK menyimpulkan adanya indikasi berbagai penyimpangan dalam proses perpanjangan kontrak JICT. BPK menafsir kerugian negara akibat penyimpangan tersebut berkisar Rp 4,08 triliun dari kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima PT Pelindo II.
“Penyimpangan tersebut terkait dengan inisiasi rencana perpanjangan perjanjian kerjasama tanpa persetujuan RUPS, penunjukkan HPH tanpa mekanisme pemilihan seharusnya, dan penunjukkan financial advisor dengan cara yang bertentangan dengan peraturan perundangan untuk mendukung perpanjangan perjanjian kerja sama dengan HPH,” ungkap Moermahadi Soerja.
Menanggapi hal tersebut, Setya Novanto menyerahkan hasil audit tersebut langsung kepada Ketua Pansus Angket Pelindo II Rieke Diah Pitaloka untuk segera ditindaklanjuti. “Bagi DPR dan BPK penyelesaian penanganan kasus Pelindo II terutama perpanjangan kontrak JICT merupakan bukti nyata komitmen penegakkan hukum agar terwujud transparansi dan akuntabilitas penggunaan keuangan negara,” tandasnya.
Sementara itu, Rieke mengatakan hasil audit investigasi BPK merupakan dukungan terhadap pansus untuk menepis anggapan yang terkesan mengada-ngada dan politis. Menurut Rieke, dengan diterimanya LHP ini, pansus akan menyerahkan hasil pansus kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera diproses ke tahap penyidikan.
“Namun demikian, ini audit investigatif tahap pertama. Audit investigatif berikutnya proyek kalibaru dan global bond yang bunganya harus dibayar negara Rp 1,2 triliun/tahun tanpa proyek yang berjalan dengan baik,” jelas politisi dari F-PDI Perjuangan ini.
Penyampaian LHP investigatif ini didasarkan pada permintaan pansus yang menemukan indikasi kuat adanya penyimpangan yang terindikasi melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar. Berdasarkan hitungan pansus sendiri (future value), untuk perpanjangan kontrak JICT saja, negara berpotensi kehilangan Rp 17,9 triliun.
Hal tersebut disebabkan karena belum terjadi komposisi saham yang sah. Diketahui, komposisi saham yang dimiliki oleh negara hanya 49 persen. Padahal, untuk penanaman modal asing, negara setidaknya memiliki saham 51 persen.
“Sepengetahuan kami, Indonesia masih 49 persen belum 51 persen. Dengan hitungan 49 persen ini, maka kerugian sampai dengan 2039 adalah sekitar Rp 17 triliun. Sementara, yang dihitung BPK adalah kerugian di masa sekarang akibat berbagai proses yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Saya kira Rp 4,08 triliun bukan angka yang sedikit dan pansus akan terus mengejar persoalan lainnya,” tutup Rieke.
Sebagaimana diketahui, kontrak JICT diperpanjang sebelum memasuki tenggat waktu, yang harusnya berakhir pada tahun 2019 namun kontrak sudah diperpanjang pada tahun 2015 tanpa proses administratif.(dia)