JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mempertanyakan hasrat rezim Jokowi-JK yang begitu bernafsu membangun infrastruktur dipertanyakan. Pasalnya, kondisi keuangan bangsa saat ini sudah sedemikian mengkhawatirkan.
"Sederhananya, mau membangun apa saja silahkan. Tapi kalau uangnya ada, komponen bahannya siap, tenaganya orang kita. Ini (Jokowi) kan tidak, semuanya impor," kata Daeng dalam diskusi publik Institut Soekarno Hatta-Teropong Senayan.com, bertajuk; Teropong Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Rezim Jokowi-JK di Ruang Meeting, Hotel Ibias Budget, Tjokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (21/8/2017).
Menurut dia, proyek infrastruktur sekarang seluruhnya disandarkan kepada asing.
"Uang utang ke Cina, bahan-bahan yang dibutuhkan dari Cina, tenaganya juga begitu," beber dia.
Padahal, kata Daeng, jumlah hutang Cina sendiri terhitung pada tahun 2016, sebesar 31,700 Triliun Dolar.
"Jadi, Cina ini juga negara yang dililit hutang. Artinya, China jelas mengekspor utang dan krisis ke Indonesia. Sehingga masalah yang sangat kompleks mereka sudah terkoneksi dengan kita. Ini bahaya," jelas Daeng.
Daeng mencontohkan, kinerja salah satu BUMN, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) yang menurutnya terus menunjukkan performa mengkhawatirkan, mengingat utang-utangnya yang terus membengkak.
Kinerja PLN sendiri di tahun ini sudah menaikan tarif dasar listrik (TDL) atau mencabut subsidi terutama untuk golongan 900 volt ampere (VA), mestinya kebijakan berutangnya tak terlalu tinggi.
"Tapi anehnya, semua kebijakan terus dilakukan, agar bisa punya kemampuan untuk berutang. Seperti melakukan revaluasi aset. Itu dilakukan hanya untuk memperlebar ruang berutang PLN," katanya.
Menurutnya, dengan melakukan revaluasi aset, nilai aset PLN memang membengkak menjadi Rp1.250 triliun. Tapi kebijakan itu, jelas Daeng, hanya untuk mempermudah perseroan untuk berutang. Makanya pihak PLN selalu berdalih rasio utangnya atau debt to equity ratio (DER)-nya selalu diklaim masih aman.
"Padahal dari sisi capaian laba PLN, mereka tidak mungkin membayar utang raksasa yang diderita PLN. Bahkan yang ada, cepat atau lambat PLN akan habis dijarah asing dan taipan. Dan menjadi milik asing," tegas Daeng mengingatkan.
Dari catatan yang dikantongi Daeng, total utang PLN saat ini telah mencapai Rp 500,175 triliun. Nilai itu belum termasuk rencana utang terbaru PLN yang akan menerbitkan surat utang (obligasi dan sukuk) senilai Rp10 triliun.
"Ini merupakan perusahaan dengan rekor tertinggi dalam mengambil utang. Total utang PLN sebelum revaluasi aset itu telah lebih dari 100% dari total asetnya," ungkapnya.
Pertanyaannya, lanjut Daeng, sampai kapan PLN dapat membayar utangnya. Meskipun, seluruh keuntungan yang diperoleh perseroan digunakan untuk bayar utang, dalam tempo 50 tahun belum akan lunas.
"Itulah mengapa tarif listrik terus digenjot naik tanpa memikirkan daya beli masyarakat. Bahkan kenaikan listrik sendiri telah mengesampingkan kondisi ekonomi rakyat yang semakin sulit," sesal Daeng. (icl)