JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengaku kecewa dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang membatalkan kewenangan DPR untuk bisa memanggil paksa seseorang.
"Keputusan ini meyakinkan saya bahwa bahkan MK masih menganggap bahwa UUD 1945 kita itu masih executive heavy. Padahal sejak amandemen keempat konstitusi kita pindah dari falsafah concentration of power upon the president menjadi check and balances. Kita Sudah meninggalkan rezim eksekutif kuat menuju keseimbangan kekuatan antara cabang-cabang kekuasaan," kata Fahri saat dihubungi, Kamis (28/6/2018).
Fahri membeberkan, kekuatan pengawasan diberikan kepada legislatif dengan segala konsekwensinya, seperti hak memanggil secara paksa apabila panggilan tidak dipenuhi.
"Sekarang terbayang bagaimana kalau orang tidak mau datang diperiksa DPR? Apa instrumen yang akan dipakai untuk mengawasi negara? Fungsi pengawasan menjadi lemah," keluh Fahri.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3.
Salah satunya, MK membatalkan kewenangan DPR untuk bisa memanggil paksa seseorang.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Hakim MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/6/2018).
Kewenangan DPR melakukan pemanggilan paksa ini semula diatur dalam Pasal 73 Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6) UU MD3.
Dalam pasal tersebut, DPR berhak melakukan panggilan paksa setiap orang yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah. Panggilan paksa ini dilakukan dengan menggunakan kepolisian.(yn)