JAKARTA(TEROPONGSENAYAN)-Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies, Gde Siriana Yusuf menilai kepemimpinan otoriter rezim pemerintahan Jokowi selama pandemi telah dijawab oleh putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasalnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan materiil terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
"Keputusan MK ini mengembalikan hak-hak Budget DPR terkait penyusunan anggaran. MK juga menyatakan Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat," kata Gde Siriana Yusuf kepada wartawan, Kamis(25/11/2021).
Menurut Pengamat Poltik dan Kebijakan Publik ini, dua keputusan Mahkamah Konstitusi ini harus dimaknai bahwa, secara hukum membuktikan pemerintah telah membuat kebijakan-kebijakan yang anti nilai-nilai demokrasi, seperti check and balance, transparansi dan partipasi masyarakat dalam penyusunan UU.
"Undang-Undang yang cacat konstitusi tersebut dipaksakan lolos saat terjadi pandemi Covid-19. Ini dapat dipandang sebagai adanya kepentingan-kepentingan oligarki di balik Undang-Undang tersebut dengan memanfaatkan situasi krisis pandemi,"jelasnya.
Konsekuensi dari dua putusan MK tersebut, menurut Gde Siriana, yang pertama adalah pelanggaran-pelanggaran dalam kebijakan pandemi dan implementasinya, penyusunan anggaran maupun penggunaan anggaran, dapat diaudit lagi dengan menggunakan aturan yang berlaku dan yang kedua adalah masyarakat yang dijerat dengan hukum terkait aksi protes terhadap UU Cipta Kerja harus dibebaskan dari hukum dan direhabilitasi.
"Aksi protes masyarakat dan pengajuan judicial review terhadap UU Cipta Kerja merupakan bentuk partisipasi dan pengawasan warga negara terhadap jalannya pemerintahan di mana substansi protes masyarakat telah diterima oleh MK, bukan hoax seperti yang selama ini dituduhkan pemerintah," tambahnya.