JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Penolakan terhadap gerakan #2019GantiPresiden terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. Bahkan, gerakan tersebut juga kerap dibubarkan paksa oleh aparat.
Menanggapi hal ini, pakar hukum pidana, Abdul Fickar Hadjar menilai, perlakuan aparat kepolisian maupun Badan Intelijen Negara (BIN) kepada gerakan #2019GantiPresiden justru menunjukkan ketidak mampuan aparat dalam menjalankan fungsi keamanan.
Dia juga mengkritik tindakan aparat yang beberapa kali memulangkan paksa tokoh gerakan #2019GantiPresiden, Ustadzah Neno Warisman.
“Soal memulangkan Neno, ini indikator ketidakmampuan (aparat) menjalankan fungsinya sebagai penjaga keamanan dalam negeri. Padahal, kebebasan orang untuk hadir di satu kota itu hak asasi manusia,” kata Fickar saat dihubungi wartawan di Jakarta, Sabtu (1/9/2018).
Menurutnya, tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tersebut jelas sebuah tindakan melawan hak asasi dan hak berdemokrasi, yang dijamin oleh Undang-undang.
Tak hanya itu, dia juga menyebut, tindakan kepada Neno Warisman juga berarti aparat telah mematikan hak orang untuk berkunjung ke suatu kota atau wilayah untuk berekpresi.
Dia juga mempertanyakan alasan polisi yang kerap berdalih bahwa tindakan pembubaran paksa lantaran yang bersangkutan dianggap melontarkan pernyataan bernada menghasut dan provokatif.
“Jadi, jika mau dipersoalkan secara hukum itu content pernyataan atau pidatonya. Tapi, pernyataan 2019GantiPresiden tidak ada unsur melawan hukumnya, itu hanya pernyataan politik,” papar Fickar.
Dia menambahkan, kepolisian dan BIN juga dapat menyerahkan masalah ini kepada pemegang otoritas Pemilu yakni KPU dan Bawaslu. Nantinya, kata Fickar, mereka yang akan memutuskan untuk menghentikan kegiatan tersebut atau tidak.
“Kecuali jika mereka mau menerima konsekuensinya dinyatakan tidak netral dalam demokrasi ini,” pungkasnya. (Alf)