JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Polemik tagar #2019GantiPresiden terus menuai perdebatan dalam kontestasi politik dan demokrasi di Indonesia.
Tagar ini muncul jauh sebelum adanya pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Polemik yang bermula dari medsos, dalam praksisnya mengarah ke masyarakat.
Direktur Eksekutif Re-Ide Indonesia, Agus Surono berpandangan, polemik tagar #2019GantiPresiden justru bertransformasi menjadi kelompok praksis lapangan yang langsung melakukan gerakan di masyarakat.
Namun, faktanya, gerakan ini mendapatkan penolakan dari sejumlah masyarakat.
“Gerakan 2019 ganti presiden di pelbagai daerah mendapatkan penolakan dari masyarakat setempat. Artinya, gerakan tersebut tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan masyarakat” kata Agus dalam diskusi polemik Tagar #2019GantiPresiden VS #Jokowi2Periode di Tjikini Lima, Jakarta Pusat, Rabu (12/9/2018).
Namun, lanjut Agus, sosmed dengan beragam platformnya telah menjadi bagian media atau sarana untuk melakukan kampanye dan membuat opini untuk tujuan-tujuan politik masing-masing kelompok. Dalam hal ini, Indonesia masih cukup terbuka tentang penggunaan sosial media sebagai ruang politik dibandingkan beberapa negara yang melakukan pemblokiran.
Menyikapi polemik ini, kata dia, Re-Ide mencatat beberapa hal. Pertama, sosmed telah menjadi alat dan medan tempur pertarungan berebut opini untuk saling memengaruhi publik.
Kedua, perang tagar tersebut juga membawa diskursus demokrasi dalam ruang virtual. Kebebasan sebagai salah satu nyawa demokrasi diuji dalam perang tanding tagar tersebut.
Ketiga, tagar 2019 ganti presiden dimaknai berbeda. Satu sisi itu bagian demokrasi, tapi di sisi yang lain tagar tersebut dianggap memiliki agenda lain di luar agenda politik Pilpres 2019.
Keempat, lanjutnya, sosmed bersifat cepat, viral, dan belum adanya semacam 'code of conduct' yang mengatur secara jelas dan gamblang membuat isu-isu politik yang cenderung liar.
“Perlu diingat, meskipun demokrasi menggaransi kebebasan, hendaknya kebebasan yang dilakukan tidak keluar dari nilai dan moral demokrasi itu sendiri. Maka, segala macam hoax, fitnah dan provokasi yang potensial membenturkan masyarakat perlu dicegah,” pungkas Agus. (Alf)