JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Sejak Papua menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ternyata masih menyisakan berbagai persoalan yang belum terselesaikan.
Provinsi paling timur Indonesia ini merupakan provinsi dengan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah, namun kehidupan masyarakatnya dari berbagai sektor masih sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Hal tersebut menjadi kekhawatiran berbagai pihak, tidak terkecuali kalangan anggota DPR RI yang merasa persoalan Papua harus dicarikan solusinya.
Misalnya saja anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP TB Hasanudin yang mengatakan bahwa persoalan Papua perlu diperhatikan secara serius karena bila tidak diperhatikan maka provinsi tersebut berpotensi pisah dari ibu pertiwi.
"Masalah Papua kalau tidak ditangani dengan baik bisa lepas dari NKRI. Sejak saya jadi TNI sampai anggota DPR, saya mengikuti persoalan Papua dan banyak diskusi dengan tokoh-tokoh Papua," kata dia di Nusantara I DPR RI Jakarta, Jumat (15/5/2015).
TB Hasanudin mengatakan bahwa saat dirinya masih aktiv di TNI, ada upaya pemerintah saat itu untuk mencari solusi terkait Papua dimana pemerintah saat itu membuka kran musyawarah dengan para tokoh Papua.
"Tahun 1999 pemerintah membuka dialog soal Papua dengan tokoh-tokoh Papua dan dihadiri 100 tokoh Papua dan saya yang menerimanya dan kebetulan saya waktu itu saya sebagai ajudan Habibie. Dalam pertemuan tersebut mereka meminta merdeka dan kita cari solusi dan lahirlah Otsus (Otonomi Khusus)," terang dia.
Namun, lanjut dia, ada satu hal menarik terkait persoalan Papua, dimana setelah dilakukan kajian oleh berbagai pakar ternyata Papua masih memiliki beberapa persoalan yang perlu diperhatikan secara serius.
"Dari hasil penelitian masalah Papua yang dilakukan LIPI, setidaknya ada empat penyebab persoalan Papua," katanya.
Pertama, ada perbedaan persepsi sebagian masyarakat Papua dengan pemerintah pusat. "Perbedaan persepsi itu pertama ketika proklamasi tidak dimasukannya Irian dalam NKRI. Kemudian ketika saat Pepera, Irian tidak mengakui NKRI," katanya.
Kedua, Suka tidak suka ada semacam termarginalisasikannya dan terdiskriminasikannya warga Papua asli.
Ketiga, ada trauma mendalam karena operasi militer sejak Orde Baru (Orba), bahkan pasca reformasi.
Keempat, gagalnya Otsus karena persoalan SDM dan dana Otsus tidak mengalir ke rakyat.
Dari ke emmpat hal tersebut menimbulkan perlawanan dalam tiga bentuk perlawanan.
"Pertama adanya komponen dalam negeri, kedua adanya komponen luar negeri, dan ketiga, komponen OPM (Organisasi Papua Merdeka) dalam konteks bersenjata," pungkas dia. (al)