JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Ketua Harian Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Slamet Effendi Yusuf mengatakan imigran Rohingya yang menjadi pengungsi Indonesia adalah korban kekerasan politik di negaranya. Menurutnya, mereka menjadi komunitas etnik yang dicabut kewarganegaraannya sejak Junta militer Myanmarberkuasa pada tahun 1982.
"Jadi ngomongin Rohingya ini emang pelik. Sebagai sebuah etnik, padahal Rohingya bukan bagian baru dari wilayah yang biasa kita sebut Burma (Myanmar dulu). Sejak awal sudah di situ," kata Slamet dalam diskusi publik "Nestapa Kemanusiaan, Save Rohingya" di Kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta, Kamis (21/5/2015).
"Dulu sudah menjadi bagian dari UU kewarganegaraan lama. Nah sejak tahun 1982, UU kewarganegaraan Myanmar berubah. Nah ketika berubah itu, Myanmar menegaskan dirinya pada etnisitas."
Diungkapkan Slamet, dalam UU lama Myanmar tidak pernah mempertimbangkan etnis tertentu untuk diakomodir sebagai warga negaranya. Namun dalam perubahan UU selanjutnya, ada pencantuman pasal yang menyebutkan etnis tertentu sebagai warga negara asli Myanmar.
"Dari situ kemudian melahirkan UU yang diskriminatif. Misalnya khusus orang Rohingya dilarang memiliki anak lebih dari dua. Hanya dibolehkan memiliki 2 bayi saja. Lewat dari itu dianggap ilegal. Sehingga masalah kewarganegaraan menjadi sangat pokok," ucapnya.
Slamet menyebut ada biang kerok dari cara-cara diskriminatif terhadap masyarakat Rohingya. Ia menyebut Penguasa Junta militer yang menjadi dalang dari upaya pembersihan Myanmar dari etnis Rohingya. (iy)