JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pembubaran PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) mendapat apresiasi dari berbagai kalangan termasuk anggota DPR lantaran langkah itu dinilai bisa memutus mata rantai mafia migas.
Namun tak sampai disitu, pemerintah juga diminta untuk membubarkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Hal itu diutarakan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai NasDem Kurtubi.
"Tuntaskan masalah energi di negara ini dari berbagai lini, jangan dilaksanakan setengah-setengah. Harus terus dilanjutkan," kata dia dalam siaran pers tertulisnya, Jumat (22/5/2015).
Kurtubi menilai, SKK Migas tak jauh berbeda dengan BP Migas yang telah dibubarkan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2012, karena bertentangan dengan UUD 1945.
Sebagaimana BP migas, tandasnya, SKK adalah lembaga pemerintah bukan perusahaan. Selama ini, demi mendapatkan dollar, Migas yang diproduksi negara dijual ke luar negeri. Sementara produksi SKK Migas, tidak bisa dijual sendiri karena bentuknya bukan perusahaan. Karenanya, SKK Migas menunjuk pihak ketiga atau swasta untuk menjual Migas milik negara. Pada tahap inilah, menurut Kurtubi, negara 'dirugikan'. Karena, yang namanya swasta tentu mengejar keuntungan.
"Terbukti, belum satu tahun SKK Migas lahir, Kepala lembaganya diciduk KPK karena menerima suap," cetusnya.
Apalagi, informasi terkini yang berkembang, KPK sedang menangani kasus korupsi di SKK Migas yang diduga bisa merugikan negara hingga trilyunan. Menurutnya, kenyataan tersebut menunjukkan ada yang tidak beres dengan sistem SKK Migas.
Lebih jauh, Kurtubi mengatakan lembaga yang berperan dengan pola kerjasama Government to Business (G to B), membuat negara tidak punya perlindungan. Selain merendahkan martabat negara dengan memposisikannya setara dengan pihak swasta, juga bisa terpaksa bertanggungjawab jika permerintah daerah membuat ulah.
“Jadi nanti yang berkontrak itu adalah perusahaan dengan perusahaan (Business to Business). Bagi perusahaan minyak yang mau beroperasi di Indonesia, sudah cukup kontrak dengan perusahaan minyak Negara. Pemerintah berada di atas kontrak karena memegang kedaulatan,” tandasnya.(yn)