Berita
Oleh Alfin pada hari Selasa, 03 Mar 2020 - 12:13:51 WIB
Bagikan Berita ini :

Ibukota Baru dan Investasi Asing yang Dinilai Melecehkan

tscom_news_photo_1583212431.jpg
ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (DPP PAN), Sayuti Asyathri (Sumber foto : Alfin Teropongsenayan)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Rencana pembangunan ibu kota baru menjadi proyek yang paling besar bagi Indonesia. Indonesia butuh triliunan rupiah untuk mengoper ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Akan tetapi Indonesia tidak sendirian memindahkannya, dipastikan negara asing akan terlibat dalam proyek tersebut.

Hasrat memindahkan ibu kota terlontar dari mulut Joko Widodo dalam rapat terbatas April 2019. Pada pertengahan Agustus, Jokowi meminta izin kepada DPR agar ibu kota bisa ditempatkan di Pulau Kalimantan. Kemudian, terpilihlah Kalimantan Timur sebagai tempat potensial ibu kota baru. Keputusan itu diklaim oleh Jokowi dengan menyebut faktor geografis dan potensi bencana alam menjadi hal yang menentukan mengapa Kalimantan Timur dipilih.

Beberapa pihak luar yang dipastikan terlibat dalam pemindahan ibu kota adalah Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Mohamed bin Zayed (MBZ) sebagai ketua dewan pengarah, lalu pendiri dan CEO Softbank Masayoshi Son, dan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Penunjukkan ini sekaligus menawarkan investasi untuk turut membantu menggelontorkan dana memindahkan ibu kota Indonesia.

Di luar pemerintahan ada yang tak setuju terlibatnya negara lain campur tangan mengotak-atik ibu kota negara. Hal itu dianggap tidak menghargai kehormatan Indonesia dihadapan negara asing. Demikian disampaikan mantan ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional (DPP PAN), Sayuti Asyathri.

Sayuti mengaku tak sepakat negara lain dijadikan pionir pemindahan ibu kota, kendati ia juga tak setuju jika status Jakarta harus dilepas dan dialihkan ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan. Sebab lainnya adalah, Indonesia dipastikan akan memiliki hutang yang besar dan berisiko tinggi.

"Kita menyesalkan juga ada beberapa negara lain duta besarnya mengatakan, kami ingin turut membantu berpartisipasi (pembangunan ibukota), ini penghinaan. Dalam hubungan internasional ini pelecehan. Bisa enggak (misalnya) kita datang ke China terus kita katakan Indonesia ikut membantu pemindahan ibu kota dari Beijing? kan enggak bisa," tuturnya kepada TeropongSenayan kemarin.

Diketahui pemerintah menargetkan biaya untuk pemindahan ibu kota baru mencapai 32,9 miliar dolar Amerika atau setara dengan Rp466 triliun.

Untuk rinciannya, sebanyak 19,2 persen dana berasal dari APBN atau sekitar Rp 89,4 triliun. Dana ini akan digunakan untuk membangun infrastruktur dasar, istana negara, gedung TNI dan Polri, perumahan ASN, TNI dan Polri, pembebasan lahan, lahan hijau terbuka dan markas TNI.

Kemudian, 54,4 persen dana akan berasal dari skema KPBU, atau sekitar Rp 253,4 triliun. Dana ini bakal dialokasikan untuk pembangunan gedung eksekutif, legislatif, yudikatif (seperti gedung DPR, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial dan lainnya), infrastruktur yang tidak tertutup dana APBN, sarana kesehatan dan pendidikan, museum serta fasilitas pendukung.

Sisanya, 26,4 persen berasal dari swasta, kira-kira Rp 123,2 triliun. Dana ini akan digunakan untuk membangun perumahan umum, sains-techno park, jalan tol, bandara, pelabuhan, mall dan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Akan tetapi, skema pembiayaan ini belum fix dan masih bisa diperdalam lagi kajiannya.

Oleh karena itu, Indonesia pun kembali bergantung pada dua negara yang punya peluang lebih meyakinkan, yakni Cina, sebagai salah satu negara investor terbesar Indonesia, dan Uni Emirat Arab (UEA) selaku negara Timur Tengah terbesar yang menjadi investor Indonesia.

Pada Oktober 2019, ada empat kerjasama baru yang rencananya diteken UEA, antara lain pertahanan, pertanian, perdanganan kapal, dan pembangunan masjid. Sepanjang Januari hingga September 2019, realisasi investasi dari Uni Emirat Arab tercatat mencapai US$ 68,2 juta. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara Timur Tengah lain seperti Turki (US$ 24,82 juta) dan Arab Saudi (US$ 1,83 juta). Belum lagi, Rencana investasi ke depan dari UEA mencapai lebih dari Rp300 triliun.

"Kerja sama dengan UEA sekarang berkembang empat. Karena, Crown Prince-nya sangat luar biasa. Sama Pak Jokowi begitu dekat, sehingga saya whatsapp-an, dan Presiden juga," demikian dikatakan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi pada 11 Oktober 2019 lalu.

Di sisi lain, Cina punya nilai investasi sebesar 2,3 miliar dolar Amerika. Jumlah ini berkali lipat dari nilai investasi UEA sekarang. Ketangguhan Cina dalam perkara investasi tidak perlu diragukan walau belakangan peringkatnya sempat digeser oleh Singapura dan Jepang.

Fenomena Investasi untuk ibu kota negara menurut Sayuti bakal menjadi hal yang pahit ke depannya akibat hutang yang menggelembung besar. Hal ini pula yang dapat berakibat pada ketimpangan ekonomi kelak.

"Kita tidak bisa hanya mengatakan bahwa uang kita keluarkan untuk investor datang, masalah utamanya adalah kepastian hukum. Dan anda tahu, kalau tidak ada kepastian hukum maka country risk itu menjadi besar, country risk besar ekonomi menjadi tidak efisien," paparnya.

Dia menambahkan, menarik investasi asing terlebih untuk ibu kota tidak diamanatkan dalam undang-undang dasar (UUD). Justru sebaliknya, UUD memberi tanggungjawab kepada pemerintah agar pelaksanaan kebijakan yang mengatur pada kesejahteraan negara harus melibatkan bangsa sendiri.

"Sahamnya adalah orang Indonesia dan ibu kota adalah simbol. Dia Mother of the country, dia adalah simbol. Kali misalnya orang dari asing membiayai itu kan usaha, dan corporate itu tidak ada diatur dlm UUD," pungkas dia.



tag: #ibu-kota  #kaltim  #jokowi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement