JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah menerima pengaduan dari pengusaha tak bisa membayar tunjangan hari raya (THR) pada lebaran tahun ini akibat pandemi korona atau Covid-19. Pengaduan itu disampaikan secara lisan tidak formal kepada pemerintah belum lama ini.
Menanggapi hal tersebut, Kemnaker menerbitkan Surat Edaran No.M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan dalam Masa Pandemi Covid-19. Surat yang diteken Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah pada 6 Mei 2020 ini ditujukan untuk seluruh gubernur yang memuat empat poin.
Pertama, memastikan perusahaan agar membayar THR kepada buruh sesuai peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk perusahaan yang tidak mampu membayar THR pada waktu yang ditentukan sesuai peraturan perundang-undangan, solusinya harus diperoleh melalui proses dialog antara pengusaha dan buruh.
Ketiga, perusahaaan diimbau untuk melaporkan kesepakatan pengusaha dan buruh mengenai pembayaran THR itu kepada dinas ketenagakerjaan. Keempat, kesepakatan mengenai waktu dan cara pembayaran THR keagamaan dan denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR kepada buruh dengan besaran sesuai peraturan dan dibayarkan pada tahun 2020.
Mengomentari hal tersebut, Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani, mengatakan surat edaran ini lahir sebagai respons dari Kemnaker terhadap kondisi perindustrian Indonesia. Namun ia menilai poin yang tercantum dalam surat edaran ini tidak memiliki standar "tidak mampu" yang jelas.
"Rawan disalahgunakan dan memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk mengambil peluang ini dengan dalih tidak mampu dan terdampak Covid-19," ungkap Netty Prasetiyani saat dihubungi, Ahad (10/5/2020).
TEROPONG JUGA:
>Sarbumusi: THR Tak Bisa Ditawar-tawar, Pengusaha Wajib Bayar
>Covid-19 Jadi Alasan Pengusaha Tak Bayar THR, Legislator PKS: Keji Sekali
Kendati langkah penyelesaian berikutnya dengan diadakannya dialog antara buruh dan pengusaha secara kekeluargaan yang disertai audit laporan keuangan, kata Netty, dua hal ini cukup sulit terwujud, mengingat posisi buruh sebagai subordinat dari pengusaha. Menurutnya, ini hanya menunjukkan relasi yang tidak setara.
"Termasuk laporan keuangan secara transparan antara pengusaha dengan buruh, siapa yang bisa menjamin terbukanya akses keuangan perusahaan? Suatu hal yang sulit diimplementasikan di dunia industri. Mungkin di sektor UMKM atau ultra mikro hal ini bisa saja dilakukan," jelasnya.
Lebih lanjut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini memandang proses yang fair seharusnya bisa ditengahi oleh peran pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagai jaminan perusahaan dapat menaati aturan perundang-undangan.
Melihat nuansa kebatinan masyarakat Indonesia, imbuh Netty, seharusnya Kemnaker berpihak kepada buruh yang sangat terpukul akibat kondisi Covid-19 dan sikap perusahaan yang dengan mudah melakukan perumahan atau pemutusan hubungan kerja.
"Pemerintah sudah terlalu berpihak kepada perusahaan dengan berbagai macam kebijakan relaksasi dan subsidi yang meringankan beban perusahaan," sesal legislator dari daerah pemilihan Jawa Barat VIII ini mengakhiri.
Sebelum Surat Edaran Menaker diterbitkan, pemerintah juga sudah memberikan kelonggaran atau relaksasi pembayaran iuran Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) atau BPJS Ketenagakerjaan untuk membantu perusahaan dari wabah pandemi Covid-19. Kelonggaran tersebut diberikan dengan memotong iuran Jamsostek sebesar 90% dari kondisi normal selama 3 bulan. Bahkan, bukan tidak mungkin pemerintah bisa memperpanjang pemotongan selama 3 bulan berikutnya.