JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anak buah kapal (ABK) menceritakan nasib sedih ketika bertemu Menteri Luar Negeri (Kemenlu) Retno Marsudi. Mereka menyatakan tidak menerima gaji selama bekerja. Retno menyatakan informasi itu menjadi bahan awal investigasi berikutnya.
"Sebagian dari mereka belum menerima gaji sama sekali. Sebagian lainnya menerima gaji namun tidak sesuai dengan angka yang disebutkan dalam kontrak yang mereka tandatangani," ungkap Retno dalam konferensi pers, Minggu (10/5/20).
Dia menyebut jam kerja yang diberlakukan kepada ABK asal Indonesia sangat tidak manusiawi.
"Rata-rata mereka mengalami kerja lebih dari 18 jam per hari. Keterangan para ABK ini sangat bermanfaat untuk dicocokkan dengan informasi informasi yang lebih dahulu kita terima," katanya.
Semua informasi itu, kata Retno, didapat langsung dari para ABK ketika berbicara langsung dengannya siang hari ini. Terdapat banyak informasi yang terkonfirmasi, lanjutnya, namun ada pula informasi baru untuk melengkapi informasi awal yang telah diterimanya. "Sebelum bertemu ABK saya juga telah bertemu penyidik Bareskrim yang sedang mendalami kasus ini. Penelusuran tidak saja akan diambil dari keterangan para ABK namun juga pihak pihak lain yang terkait," ujarnya.
Kuasa hukum Anak Buah Kapal (ABK) Warga Negara Indonesia (WNI) yang bekerja di kapal China Long Xing 629 menyebut para ABK tidak menerima gaji utuh selama tiga bulan pertama. Perusahaan pemilik kapal pencari ikan tersebut beralasan gaji tidak utuh karena masalah biaya administrasi.
"Padahal menurut ketentuan dalam UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pembebanan biaya rekrutmen kepada pekerja merupakan tindak pidana," kata salah satu pengacara ABK dari DNT Lawyers, Boris Tampubolon dalam keterangan, Minggu (10/5).
Boris mengatakan pembayaran gaji juga tidak sesuai dengan kontrak yang ditandatangani oleh ABK. Ia mengatakan ABK tidak mendapat hak gaji sesuai dengan perjanjian.
"Ada ABK yang hanya mendapatkan US$120 atau Rp 1,7 juta setelah bekerja selama 13 bulan. Padahal seharusnya ABK berhak mendapatkan minimum US$300 atau Rp4,4 juta setiap bulan," kata Boris.
Boris mengatakan jam kerja mengharuskan para ABK bekerja selama 18 jam setiap hari. Jika kebetulan pada saat itu tangkapan ikan sedang berlimpah, maka para ABK harus kerja terus-menerus selama 48 jam tanpa istirahat.
Boris mengatakan kontrak kerja (Perjanjian Kerja Laut) memuat unsur yang membuat ABK berada dalam kondisi rentan. Unsur-unsur tersebut di antaranya adalah jam kerja tidak terbatas yang ditentukan kapten, hingga hanya boleh makan makanan yang disiapkan.
"Tidak boleh komplen walau yang ada tidak layak atau bertentangan dengan agama, tidak boleh membantah perintah apa pun dari kapten, tidak boleh melarikan diri dari kapal, dan lain-lain," kata Boris.
ABK WNI bahkan sering diberi makanan berupa umpan ikan yang berbau sehingga mereka mengalami gatal dan keracunan makanan.
Boris mengatakan ABK WNI diberi makanan berupa sayur dan daging ayam yang sudah berada di pembeku lemari pendingin sejak 13 bulan. Sementara itu, ABK China selalu memakan dari bahan makanan yang masih segar.
"Koki Tiongkok membuat dua pembagian masakan, yaitu makanan khusus ABK Tiongkok yang seluruhnya lebih segar dan menggunakan air minum botol, dan makanan khusus ABK Indonesia dengan makanan lama yang tidak segar dan berbau," kata Boris.
ABK Indonesia hanya diberikan air sulingan dari air laut yang masih sangat asin, sedangkan ABK Tiongkok meminum air mineral dalam kemasan botol.