JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi perdagangan (Komisi VI) DPR RI, Amin Ak, mengatakan penghapusan beberapa ketentuan soal izin impor dan ekspor dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja berpotensi membuka keran importasi lebih luas. Adapun pasal dari UU Perdagangan yang dihapus dalam Omnibus Law adalah Pasal 49 ayat (1) sampai ayat (5).
Menurut Amin, liberalisasi impor seperti itu akan mengakibatkan sejumlah perizinan, baikpersetujuan, pendaftaran, penetapan, dan ketentuan lainnya hilang. "Penghapusanketentuan perizinan ekspor-impor berpotensi menyebabkan terbuka lebarnya keran impor yang masuk ke Indonesia," kata Amin dalam keterangan tertulisnya, kemarin (10/5/2020).
Selain akan membanjirnya barang impor ke wilayah Indonesia, lanjut Amin, penghapusan ketentuan tersebut dapat berpotensi menimbulkan iklim usaha yang tidak sehat karena tidak adanya persetujuan maupun pengakuan barang impor yang masuk ke wilayah Indonesia.
Tak hanya itu, ketentuan lain seperti keringanan dan penambahan tarif bea masuk barang impor pun turut dihapuskan. Padahal, dengan adanya ketentuan tersebut negara dapat memperoleh pendapatan dari kenaikan bea masuk yang dibebankan terhadap barang impor.
"Selain itu, pemerintah juga dapat mengendalikan jumlah barang impor yang masuk ke Indonesia," ujar Amin.
TEROPONG JUGA:
>Kritik Omnibus Law, Rocky Gerung Bandingkan Kepemimpinan Era SBY dan Jokowi
>Karena Banyak Masalah, RUU Omnibus Law Digugat ke PTUN
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menjelaskan, keringanan tarif bea masuk barang impor sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 49 ayat (4) UU No 7 tahun 2014 tentang Perdagangan juga dapat dijadikan pemerintah untuk melakukan lobi dalam perdagangan internasional, agar barang ekspor dari Indonesia ke negara tujuan bisa mendapatkan keringanan bea masuk ke negara tujuan apabila Indonesia juga memberikan keringanan bea masuk barang Impor dari negara tersebut.
Namun hal itu dilakukan selama tidak mengganggu stabilitas persediaan barang dalam negeri dan tidak mengancam perkembangan pelaku usaha khususnya UMKM dalam negeri. Di dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja juga terdapat ketentuan yang dihapus mengenai sanksi bagi eksportir/importir yang melakukan kegiatan ekspor/impor barang yang tidak sesuai dengan pembatasan barang untuk diekspor/diimpor.
"Penghapusan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 ayat (4) dan (5) UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dapat membuat eksportir/importir leluasa melakukan pelanggaran tanpa dikenakan sanksi, hal tersebut berpotensi tidak terkendalinya barang ekspor/impor yang dapat mengganggu stabilitas persediaan barang dalam negeri dan mengancam perkembangan UMKM lokal," kata Amin menjelaskan.
Dengan dihapuskannya ketentuan mengenai perizinan ekspor-impor dan sanksi bagi eksportir/importir yang melakukan kegiatantidak sesuai dengan ketentuan pembatasan barang,kata Amin, dapat mengancam UMKM dalam negeri.
"Kedua hal tersebut dapat menyebabkan tidak terkendalinya jumlah persediaan barang dalam negeri, sehingga dapat memicu kelangkaan persediaan barang ataupun membanjirnya barang impor di dalam negeri yang dapat mempengaruhi kinerja UMKM di Indonesia," ujarnya. (Allan)