JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota komisi III DPR, Rahmat Muhajirin memandang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme di Indonesia tak menjadi masalah selama hukum mengatur secara jelas batas kewenangannya. Asumsi publik selama ini memandang keterlibatan TNI bisa memicu terjadinya pelanggaran HAM, sebagaimana yang disuarakan Komnas HAM belakangan ini.
Selain itu, wacana intervensi TNI seperti yang termaktub dalam Perpres pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme juga dinilai melanggar amanat UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyebutkan tugas TNI hanya bersifat bantuan, bukan permanen. Perpres tersebut akhirnya membuat TNI masuk terlalu jauh dalam menindak terorisme. Menurut Komnas HAM, hal ini bisa melanggar penegakan hukum terorisme yang sudah diamanatkan kepada Polri.
Namun Rahmat berargumen, fungsi utama TNI adalah menjaga NKRI dari ancaman luar. Sementara terorisme bukan tidak mungkin muncul dari pihak asing. Apalagi selama ini diketahui terorisme yang kerap mengusung jargon agama adalah akibat infiltrasi dari pengaruh terorisme luar, seperti ISIS dan Al-Qaeda.
Ancaman Terorisme itu sendiri kan tidak hanya dari dalam, juga dari Luar Negeri.
Jadi, memang harus diatur peran masing-masing kekuatan bersenjata yang ada di Indonesia ini untuk supaya saling bersinergi dalam Pemberantasan tindak pidana teroris. (juga) dalam melindungi ideologi rakyat, bangsa, dan negara dari terorbatau rasa takut," katanya kepada TeropongSenayan, Jumat (29/5) lalu.
TEROPONG JUGA:
> DPR Kaji Draf Perpres Pelibatan TNI dalam Penanggulangan Terorisme
Untuk itu, lanjut Rahmat, memang sudah seharusnya Presiden membuat dan menerbitkan Perpres mengenai pelibatan TNI. Alasan lain adalah, pemberantasan terorisme juga membutuhkan operasi militer karena terorisme tingkat global yang memiliki pengaruh ke negara ini juga beraksi secara militeristik. Di negara-negara Timur Tengah, saingan kelompok teroris adalah tentara elite.
Legislator Gerindra ini juga menafikan bahwa pelibatan TNI dalam penegakan hukum diperbolehkan selama bersifat bantuan kepada aparat penegak hukum dan bersifat ad hoc, bukan permanen seperti yang diatur dalam rancangan Perpres tersebut. Tapi, untuk penanganan terorisme menurutnya perlu lebih diperkuat karena tindak pidana luar biasa ini masih menjadi masalah besar dalam negeri.
"Insya Allah dengan adanya Perpres ini akan semakin baik pelaksanaan dalam mengatasi aksi terorisme," ujarnya.
Terkait penyidikan dan penegakan lebih lanjut, Rahmat menuturkan, hal itu sudah diatur dalam KUHAP. Sehingga penegakkan hukum terhadap kasus terorisme juga sudah memiliki mekanisme yang jelas. "Sudah jelas peran-tupoksi masing-masing antara kekuatan bersenjata di negara
kita/APH masing masing," katanya.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo menerangkan, mengenai polemik Perpes ini, masalah besar bukan terletak pada pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme, melainkan bagaimana SOP keterlibatan TNI itu bisa disepakati secara politik.
Bagaimana pun TNI diperkenankan membantu Polri menangani terorisme sesuai amanat UU pemberantasan terorisme. Namun ia mengingatkan, dalam menangani teroris baik TNI maupun Polri akan dihadapkan pada bahaya yang kompleks, semisal serangan berupa senjata api atau bom. Untuk itu, TNI sendiri harus dilengkapi dengan alat senjata yang sepadan.
Menurutnya, upaya seperti ini tidak dimaksudkan untuk merenggut HAM, tapi lebih pada perlindungan bagi aparat bersenjata sendiri.
"Tidak mungkin aparat keamanan termasuk TNI tidak dilindugi oleh aturan keamanan sedangkan pengacau keamanan tidak dibatasi tingkat kekerasannya," kata Agus saat dihubungi terpisah, Jumat (29/5).
Lagi pula, Agus melanjutkan, dalam SOP penegaksan hukum, ada ketentuan yang membolehkan aparat kemanan menggunakan senjata, bahkan sampai melakukan tindakan tegas dan terukur bila keadaan sudah dinilai mengancam jiwa aparat. "Jadi tidak benar bahwa anggota aparat keamanan selalu dibelenggu dan disandera oleh HAM serta tidak boleh membela diri," katanya.
"Apabila ketentuan aturan pelibatan ini belum dimiliki oleh TNI atau diketahui publik, maka perlu dibuat dan diketahui oleh publik dan DPR," sambungannya menandaskan.