JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta pemerintah berikut DPR dan Penyelenggara Pemilu untuk menunda Pilkada Serentak 2020. Lembaga swadaya masyarakat ini beralasan anggaran Pilkada yang tidak memadai akibat pandemi korona membuat Pilkada harus ditunda sementara sampai situasi membaik.
Dalam rapat komisi II DPR RI dengan Mendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP, pada Rabu 3 Juni 2020 lalu menyepakati anggaran Pemilihan Kepala Daerah 2020 di tengah Pandemi Covid-19 tidak sepenuhnya berasal dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN).
Tersebab adanya permintaan tambahan anggaran oleh KPU dan Bawaslu sebesar Rp 2,8 triliun hingga Rp 5,9 triliun untuk kebutuhan protokol kesehatan Pilkada, maka Mendagri Tito Karnavian meminta 270 kepala daerah di wilayah yang menggelar pilkada agar berkontribusi pada pelaksanaan pesat demokrasi ini dengan mencairkan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) Pilkada.
Saat dihubungi, Wakil Ketua Komisi Kepemiluan (Komisi II) DPR, Yaqut Cholil Qoumas, mengatakan penambahan anggaran akan melihat terlebih dahulu kemampuan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Jika terjadi kekurangan, maka daerah bersama pusat akan patungan membiayai pilkada 2020.
"Jika daerah tidak mampu, karena memang kemampuan fiskal daerah beragam, baru akan dibantu dengan APBN," katanya kepada TeropongSenayan, Senin, 8 Juni 2020.
TEROPONG JUGA:
> Menyoroti Dua Kubu Pilkada 2020, Ditunda atau Lanjut?
> Memaksa Pilkada Serentak Meski Anggaran Cekak
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini menuturkan, awalnya sempat ada usulan agar pelaksanaan pilkada dianggarkan melalui APBN. Namun karena keuangan negara yang sedang surut, maka disepakati biaya pilkada menggunakan APBD. Dalam rapat juga disebutkan bahwa beberapa daerah masih memiliki kekuatan anggaran yang cukup untuk membiayai pilkada.
Beberapa darah yang menurutnya disebutkan Mendagri masih memiliki napas untuk membiayai pilkada 2020 antara lain, Kota Medan, Kabupaten Bengkalis, Kota Bandar Lampung, Kota Batam, Kota Tangerang Selatan, Kota Semarang dan beberapa wilayah lain yang belum ia sebutkan.
Gus Yaqut, sapaan akrabnya, mengatakan kekurangan anggaran suatu daerah tak bisa ditalangi oleh daerah lain yang memang memiliki anggaran yang cukup. Sebab, kata dia, belum ada regulasi yang menetapkan hal tersebut.
"Sepertinya tidak ada mekanisme yang tersedia untuk itu," katanya.
Selain itu, Ketua umum GP Anshor ini menanggapi soal desakan Perludem untuk menunda Pilkada 2020 karena sejumlah alasan. Gus Yaqut mengungkapkan tak menutup kemungkinan pilkada 2020 akan ditunda jika kasus Covid-19 di Indonesia terbukti mengalami peningkatan. DPR bersama pemerintah akan terus memantau perkembangan pandemi di Indonesia.
"Kita lihat perkembangannya nanti. Jika ternyata pandemi bisa dikendalikan, pilkada jalan terus. Sebaliknya, jika memburuk, usulan Perludem itu layak untuk dipertimbangkan," pungkasnya.
Sebelumnya, Perludem mendesak KPU memutuskan kembali untuk menunda Pilkada 2020 dengan persetujuan DPR dan Pemerintah. Manajer Program Perludem Fadli Ramadhanil mengatakan kondisi pandemi yang belum juga mereda, serta persiapan kelanjutan pilkada ditengah pandemi yang masih jauh dari matang, hanya akan menimbulkan masalah besar di kemudian hari.
Pasalnya, salah satu kesepakatan dalam rapat tersebut adalah harus mengkonsultasikan kembali anggaran tambahan untuk pengadaan alat kesehatan bagi penyelenggara pemilu masih dengan Menteri Keuangan.
Menurut kesimpulan Perludem, kondisi ini mengherankan. Jika melacak keyakinan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu untuk segera memulai kembali tahapan Pilkada serentak pada 15 Juni mendatang, ternyata berbanding terbalik dengan realitas yang dihadapi ketiga lembaga pemangku kepemiluan tersebut.
Fadli mencontohkan, bagaimana mungkin anggaran pengadaan alat protokol kesehatan dan biaya tambahan untuk penyelenggaraan pilkada sebagai konsekuensi dari penambahan TPS masih belum dapat dipastikan, sementara tahapannya akan dimulai pada 15 Juni 2020. Padahal jika dihitung mundur dari hari ini, Pilkada akan dimulai dalam 11 hari kedepan.
"Pertanyaan penting lagi, apakah cukup waktu untuk mengadakan alat protokol kesehatan dan pelindung diri dalam jumlah banyak dalam waktu 11 hari, sementara tahapan Pilkada tidak mungkin dilaksanakan tanpa alat pelindung diri bagi penyelenggara pemilu? katanya dalam keterangan tertulis kepada TeropongSenayan, Kamis, 4 Juni 2020.