JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Nama pebulu tangkis Taufik Hidayat disebut-sebut oleh Jaksa penuntut umum (JPU) KPK dalam kasus gratifikasi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Dalam persidangan terungkap pada Januari 2017, Tommy Suhartono selaku Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak PRIMA meminta uang Rp1 miliar kepada Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Program Satlak PRIMA Kemenpora RI.
Uang itu untuk keperluan terdakwa Imam Nahrawi selaku Menpora yang diminta untuk diserahkan kepada Taufik Hidayat. Saat itu Taufik adalah staf khusus Menpora. Demikian dikatakan JPU KPK Budhi Sarumpaet saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (12/6). Sidang dilakukan melalui sarana video conference, Imam Nahrawi berada di Gedung KPK, sementara JPU KPK, majelis hakim, dan sebagian penasihat hukum berada di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Masih menurut jaksa, Ucok mengambil uang tunai sejumlah Rp1 miliar yang berasal dari anggaran akomodasi atlet Program Satlak PRIMA. Selanjutnya, uang tersebut diserahkan kepada Taufik Hidayat melalui Reiki Mamesah di rumah Taufik Hidayat, Jalan Wijaya 3 No. 16 Kebayoran Baru.
Selanjutnya, Tommy Suhartono menghubungi Taufik dan mengatakan bahwa akan ada Miftahul Ulum selaku asisten pribadi Imam yang akan mengambil uang titipan itu untuk keperluan Menpora. Ulum lalu datang ke rumah Taufik dan mengambil uang sejumlah Rp1 miliar untuk diserahkan kepada Imam.
"Di dalam persidangan, Miftahul Ulum tidak mengakui pernah Rp1 miliar dari Taufik Hidayat. Namun, penuntut umum berpendapat hal tersebut hanya merupakan upaya dari Miftahul Ulum untuk menyembunyikan perbuatan terdakwa Imam," kata jaksa menegaskan.
Penyebabnya, keterangan Tommy, Ucok, Reiki dan Taufik walau masing-masing keterangan yang berdiri sendiri namun saling berhubungan dan membenarkan adanya penerimaan uang oleh Imam.
"Dengan demikian, keterangan Ulum yang tidak mengakui telah mengambil uang Rp1 miliar dari Taufik di rumahnya adalah keterangan yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti sah lainnya. Oleh karenanya sudah sepatutnya untuk dikesampingkan," kata jaksa.
Dalam perkara ini, Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp19,154 miliar dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun.
JPU KPK menilai Imam Nahrawi bersama-sama dengan Miftahul Ulum terbukti menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,648 miliar.
Sementara itu, Ulum dituntut 9 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti menjadi operator lapangan aktif penerimaan suap dan gratifikasi.
Atas tuntutan terhadap Imam tersebut, penasihat hukum Imam, Wa Ode Nur Zainab menyatakan surat tuntutan tidak sesuai dengan fakta hukum.
"Tuntutan penuntut umum tidak sesuai dengan fakta hukum, sangat mengada-ada, dan cenderung tendensius seperti ada dendam kepada klien kami. Kami telah siapkan nota pembelaan," kata Wa Ode.