JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pengamat Kebijakan dan Pemerintahan, Gde Siriana Yusuf, mengatakan jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju yang dibesut Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat membawa angin segar bagi publik karena disebut mereka adalah orang-orang hebat yang memiliki kapasitas.
Namun, usai Jokowi memberi reaksi keras pada sidang paripurna kabinet Kamis (18/6) lalu kepada jajaran menterinya, sebutan "orang-orang hebat" itu ternyata hanya berupa klaim fiktif, bukan fakta. Jokowi marah karena menilai barisan menteri yang ia harap menjadi pelipur lara di musim pandemi hanya maju selangkah tanpa memberi perubahan signifikan. Padahal, Indonesia tengah diambang krisis ekonomi.
"Masyarakat masih ingat saat dibentuk kabinet Jokowi jilid 2, Jokowi memberikan nama kabinet Indonesia Maju karena diisi oleh orang-orang hebat. Bahkan stafsus presiden diisi milenial kebanggaan Jokowi," kata Gde saat dihubungi, Ahad, 28 Juni 2020.
"Tapi melihat reaksi kecewa Jokowi dan juga ketidakpuasan masyarakat atas kinerja kabinet terutama dalam masa Covid ini, menjadi bukti bahwa kabinet Jokowi bukan diisi oleh orang-orang yang tepat," sambung Gde.
TEROPONG JUGA:
> PAN: Jokowi Sadar Ada Yang Tidak Beres Kinerja Para Menterinya
Menurutnya, ada tiga indikator mengapa Jokowi marah bukan kepalang atas kinerja para menterinya yang dinilai mandek itu. Ketiga hal ini berkaitan pula pada sikap memilih yang dilakukan Jokowi usai menang pilpres 2019 lalu berkat para penyokong bantuan.
Pertama, kabinet tidak diisi oleh the right man tapi berdasarkan komposisi grand coalition pilpres 2019. Menurut Gde, para simpatisan yang telah berjasa memenangkan Jokowi pada pilpres lalu, menjadikan jabatan menteri sebagai imbalan yang dilakukan secara tawar-menawar.
Akibatnya, kedudukan sekelas menteri diisi oleh orang-orang yang sebenarnya tak mempunyai kapasitas dibidangnya. Maka, tak heran jika terjadi banyak masalah dalam beberapa bulan terakhir menyangkut kebijakan yang mereka keluarkan.
Kedua, lanjut Gde, Jokowi dalam konteks kekuasaan politik, tidak memiliki hak mutlak untuk mengangkat menteri. Pengangkatan menteri dilakukan berdasarkan kesepakatan dari partai politik (parpol) pengusung. Hal ini tak berbeda jauh dari indikator pertama yang mengakibatkan lahirnya kinerja amatiran oleh para menteri.
Indikator ketiga, menurut Gde bukan hanya parpol yang menikmati, ada juga sponsor-sponsor pendana pilpres 2019 yang mengajukan nama-nama menteri tetapi sebenarnya orang yang diajukan tidak memiliki kapasitas.
Indikator pertama, kedua, dan ketiga sejatinya berkelindan dari fenomena politik di Indonesia yang menjadikan jabatan kekuasaan adalah imbalan yang dapat dikompromikan. Pemenang dalam pesta demokrasi mewujudkan terjadinya pertukaran balas budi, bukan adu gagasan yang mumpuni.
"Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Erick Thohir (Menteri BUMN) bahwa Jokowi memilih menteri dari orang yang berkeringat kemarin (disampaikan Erick pada 17 Oktober 2019 lalu, red)," pungkas Gde.