JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Serikat pekerja/serikat buruh yang berada di sektor ketenagalistrikan secara tegas melakukan penolakan terhadap omnibus law RUU Cipta Kerja.
Sekretaris Jenderal Persatuan Pegawai PT Indonesia Power Tingkat Pusat, Andy Wijaya mengatakan desakan ini didukung serikat pekerja di sektor kelistrikan seperti SP PLN Persero, PP Indonesia Power, SP PJB, SPEE-FSPMI, dan Serbuk Indonesia.
Serikat pekerja menolak karena ada banyak permasalahan yang terdapat di dalam RUU Cipta Kerja. Khusus di dalam sub-klaster ketenagalistrikan, berdasarkan catatan Andy, RUU ini merubah 35 pasal yang ada di dalam UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Padahal, sebagian pasal di dalam UU No 30 Tahun 2009 sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
“Ironisnya, dalam pembuatan omnibus law RUU Cipta Kerja sub klaster ketenagalistrikan pembentuk undang-undang tidak menggunakan hasil putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 melainkan utuh menggunakan UU No 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan,” kata Andy dalam konferensi pers via Zoom di Jakarta, Kamis, 10 Juli 2020.
“Dapat dikatakan, pembentuk undang-undang menghidupkan pasal zombie ke dalam omnibus law RUU Cipta Kerja dan hal tersebut adalah tindakan inkonstitusional," sambungnya.
Teropong Juga:
> Lika-liku RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR
Dia mencontohkan, salah satu pasal yang dihidupkan kembali adalah Pasal 10 ayat (2) yang menyebutkan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi.
Padahal di dalam putusan Mahkamah Konstitusi disebutkan, pasal tersebut bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila diartikan menjadi dibenarkannya praktik unbudling (pengelolaan listrik oleh badan usaha secara terpisah) dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip “dikuasai oleh negara”.
Permasalahan lain adalah, dihilangkannya definisi "izin operasi" dan perubahan definisi dari "izin usaha penyediaan tenaga listrik. Kedua definisi diatas digabung kedalam definisi "Perizinan Berusaha Terkait Ketenagalistrikan" yang berimplikasi tidak dapat dipisahkan lagi izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dan izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
Begitu pun terkait definisi “wilayah usaha”, adalah wilayah yang ditetapkan Pemerintah sebagai tempat badan usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik melakukan usaha penyediaan tenaga listrik. Tetapi di dalam omnibus law RUU Cipta Kerja, definisi “wilayah usaha” adalah wilayah yang ditetapkan pemerintah sebagai tempat badan usaha melakukan usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik.
Dengan penghilangan frasa “melakukan usaha penyediaan tenaga listrik” dan merubahnya menjadi “usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik” maka definisi “wilayah usaha” pada omnibus law RUU Cipta Kerja menyebabkan pembangkit tenaga listrik dan transmisi tenaga listrik tidak membutuhkan izin dari pemerintah. Artinya semua pihak yang mampu membuat pembangkit tenaga listrik dan transmisi tenaga listrik bebas untuk membuat.
“Efeknya tentu saja Negara Indonesia akan kelebihan supply listrik dan kelebihan supply listrik tersebut akan dibebankan ke masyarakat yang ujung-ujungnya menyebabkan harga listrik menjadi naik,” jelas Andy.
Ia mengatakan pemerintah perlu memperhatikan bahan bakar yg digunakan pembangkit listrik di PLN, yang dapat menyebabkan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik menjadi mahal sehingga membebankan kemasyarakat
Permasalahan lain adalah, omnibus law RUU Cipta Kerja menghilangkan hak DPR dalam menentukan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Padahal, kata Andy, pembahasan RUKN penting dilakukan karena berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Untuk itu, sangat penting mengikutsertakan DPR sebagai perwakilan dari masyarakat agar RUKN yang dihasilkan tidak merugikan rakyat.
Selain itu, omnibus law RUU Cipta Kerja mengebiri hak DPR dalam melakukan penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen. Dengan demikian, Pemerintah bisa menetapkan tarif untuk konsumen tanpa membutuhkan persetujuan DPR. Bila hal ini lolos dalam omnibus law, bisa saja ke depan pemerintah dipaksa oleh pelaku usaha penyediaan tenaga listrik untuk menaikkan tarif untuk konsumen.
“Kami juga mencatat, omnibus law RUU Cipta Kerja Sub Klaster ketenagalistrikan menyebabkan banyaknya pengaturan ketenagalistrikan yang dibahas oleh pemerintah tanpa melibatkan DPR. Sehingga tidak ada lagi kontrol dari wakil rakyat dalam pembuatan peraturan,” tutur Andy.
Ketua Umum DPP SP PT PLN Persero M Abrar Ali membenarkan hal tersebut. Dia mengingatkan pemerintah agar jangan sampai terjadi liberalisasi dalam tatakelola listrik di Indonesia.
“Saya melihat RUU Cipta Kerja di sub-klaster ketenagakerjaan menghilangkan fungsi legislasi DPR dalam melakukan pengawasan. Padahal fungsi legislatif menyangkut hal interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat untuk memastikan pemerintah tidak seenaknya mengatur listrik,” ujar Abrar.
“Listrik adalaah asset strategis bangsa. Ia bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga pertahanan,” tegasnya.
Abrar mencontohkan kasus ketika padamnya listrik atau blackout di pulau Nias. Dampaknya adalah internet tidak berfungsi, ekonomi terhenti, bahkan sistem keamanan akan terganggu.
"Bagaimana kalau kita terikat kontrak dengan pihak yang lain? Akan sangat berbahaya. Karena itu, kami mengingatkan kepada DPR dalam fungsinya membuat undang-undang, jangan gegabah mengesahkan RUU Cipta Kerja," pesannya.
Sementara itu, Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan YLBHI Arip Yogiawan menyampaikan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja ditolak oleh elemen masyarakat sipil. Setidaknya ada 12 alasan mengapa masyarakat sipil menolak omnibus law:
Pertama, melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan mensejahterakan.
Kedua, penyusunan RUU cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, dan minim partisipasi masyarakat sipil dan mendaur ulang pasal inkonstitusional.
Ketiga, satgas omnibus law elitis dan tidak mengakomodir elemen masyarakat yang terdampak dengan keberadaan seperangkat RUU Cipta Kerja.
Keempat, sentralisme kewenangan yaitu kebijakan ditarik ke pemerintah pusat dan mencederai semangat reformasi.
Kelima, celah korupsi melebar akibat mekanisme pengawasan yang dipersempit dan penghilangan hak gugat oleh rakyat.
Keenam, perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat.
Ketujuh, percepatan krisis lingkungan hidup akibat investasi yang mengakibatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis (man made disaster) dan kerusakan lingkungan.
Kedelapan, menerapkan perbudakan modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja berupa legalisasi upah dibawah UMK, Upah Per jam dan perluasan kerja kontrak outsourching.
Kesembilan, potensi PHK Masal dan memburuknya kondisi kerja.
Kesepuluh, membuat orientasi sistem pendidikan untuk menciptakan tenaga kerja murah.
Kesebelas, memiskinkan petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak difable dan kelompok minoritas keyakinan, gender dan seksual.
Keduabelas, kriminalisasi, refresi dan kekerasan negara terhadap rakyat sementara negara memberikan kekebalan keistimewaan hukum kepada para pengusaha.