JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Wakil Ketua Komisi Pendidikan (Komisi X) DPR, Abdul Fikri Faqih mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengembalikan tunjangan profesi guru dalam satuan pendidikan kerjasama (SPK) yang sempat dihapus oleh peraturan Sekjen Kemendikbud No 6 tahun 2020.
"Peraturan ini membuat resah para guru sertifikasi di SPK, kita harus kembalikan sesuai amanah Undang-Undang nomor 14/2005 tentang guru dan dosen," kata Fikri di Tegal melalui keterangan tertulis, Jumat, 17 Juli 2020.
SPK merupakan satuan pendidikan yang diselenggarakan atau dikelola atas dasar kerja sama antara Lembaga Pendidikan Asing yang terakreditasi/diakui di negaranya dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia baik berbentuk formal maupun non formal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam peraturan Sekjen Kemendikbud tersebut, Pasal 6 ayat (2) huruf b menyebutkan ada dua profesi guru yang dikecualikan mendapat tunjangan profesi guru, yaitu: a) Guru pendidikan agama yang tunjangan profesi guru agama dibayarkan oleh Kementerian Agama, dan b) Guru yang bertugas di satuan pendidikan kerjasama.
Ketentuan itu tentu bertentangan dengan UU tentang profesi guru dan dosen yang disebutkan Fikri. Dalam Pasal 15 UU tersebut, guru yang sudah melaksanakan tugas keprofesionalannya berhak mendapat tunjangan dalam gajinya.
Pasal itu berbunyi: "Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi".
Abdul Fikri Faqih
Sebagai mantan guru, Fikri Faqih dapat merasakan keresahan yang dialami para guru yang terkena dampak jika kebijakan ini diterapkan. Menurutnya, tunjangan profesi guru adalah hak seluruh guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi sesuai amanah dalam UU Guru dan Dosen.
“Jika semua persyaratan sudah dipenuhi, dan tidak ada alasan secara yuridis yang menunjang untuk menghapus tunjangan profesi guru-guru SPK, menurut saya tidak elok kebijakan ini digulirkan. Jika kewajiban sudah dipenuhi, maka hak guru harus tetap diberikan. Jangan ada diskrimasi,” ujar Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi X dengan Forum Komunikasi Satuan Pendidikan Kerjasama Indonesia, Rabu (15/7) lalu, Komisi X DPR mendesak Kemendikbud untuk meninjau ulang peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud RI No 6 tahun 2020 tentang petunjuk teknis pengelolaan penyaluran Tunjangan Profesi dan Tunjangan Khusus bagi guru bukan PNS serta Peraturan Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud No 5745/B.B1.3/HK/2019
“Kami mewakili guru-guru SPK resah dengan kebijakan ini, apalagi Presiden pernah mengatakan Tunjangan Profesi Guru tidak akan dihentikan. Akan lebih baik jika Kemendikbud dibawah Nadiem Makarim membuat aturan yang lebih strategis, bukan membuat keresahan para guru,” kata Ketua Forum Komunikasi SPK Muhammad Khalid Riza.
Menurut Riza, penghapusan tunjangan profesi bagi guru dalam Peraturan Sekjen Kemendikbud tersebut melanggar undang-undang. Sebab, peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta PP Nomor 41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen.
"Apakah sekolah SPK dan pendidik di dalamnya tidak berada dalam ranah mencerdaskan kehidupan bangsa? Peraturan perundangan-undangan mana yang dilanggar atau tidak dipenuhi oleh SPK dan pendidik di sekolah SPK sehingga tunjangan profesinya dihapuskan? Kami tidak menemukan alasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang penghentian tunjangan profesi ini,” katanya.