JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Kalangan wakil rakyat di Senayan meminta agar skema seleksi bagi para guru honorer yang lebih menitikberatkan pada kemampuan teknis dan faktor usia ditinjau ulang.
Pasalnya, dua skema tersebut justru membuat para guru honorer yang selama ini memperjuangkan hak-haknya tersingkir dengan adanya dua skema seleksi tersebut.
Anggota Komisi X DPR RI, Elnino H Mohi mengatakan, seleksi bagi para PPPK yang dilakukan pemerintah selama ini tidak mampu menyelesaikan problem mendasarnya.
Imbasnya, kata dia, banyak guru honorer yang tereliminasi oleh sistem perekrutan yang tak mengenal istilah pengabdian maupun perjuangan seorang guru yang ikhlas menyumbangkan jiwa dan raganya demi masa depan anak bangsa yang lebih baik.
"Rigidnya seleksi PPPK justru membuat para guru honorer kesulitan menembus test PPPK tersebut. Mulai dari soal faktor umur, kemampuan pribadi dalam teknis yang sudah terkomputerisasi (sering salah pencet tombol, dll), tidak terbiasa dengan soal-soal tes, dan lain sebagainya adalah beberapa masalah yang sulit teratasi oleh sebagian guru honorer," tandas Politikus Gerindra kepada wartawan, Senin (20/12/2021).
Hal itulah, kata dia, yang membuat proses perekrutan yang sudah berjalan selama ini terkesan tidak mampu memenuhi apa yang jadi harapan para guru honorer.
"Pengumuman hasil seleksi guru PPPK tahap pertama dan kedua akhirnya "blunder" dalam beberapa hal," ungkap Nino.
Nino mengatakan, meski maksud pemerintah dengan melakukan seleksi PPPK di awalnya baik yaitu untuk menguatkan guru serta kualitas pendidikan nasional, hal itu belumlah memadai jika tidak dibarengi dengan kesungguhan yang lebih konkret.
"Menanamkan harapan besar kepada ratusan ribu, bahkan jutaan, guru honorer yang sudah mengabdi belasan dan puluhan tahun mencerdaskan anak-anak bangsa di lingkungannya masing-masing, harapan besar itu akhirnya menuai kekecewaan yang besar pula bagi sebagian guru honorer hanya karena persoalan seleksi yang kurang relevan," tegasnya.
Mestinya, kata dia, pola seleksi tidak lagi berkutat pada soal teknis tapi bagaimana pemerintah melihat pengabdian para guru honorer sebagai landasan pengangkatan mereka.
"Para guru honorer itu kan sudah puluhan tahun mengajar dan mendidik murid-murid mereka. Demi apa? Bukan demi uang, tapi karena mereka tidak tega melihat anak-anak di sekitarnya belajar tanpa jumlah guru yang memadai. Hal inilah yang mestinya jadi pertimbangan pemerintah," tandasnya.
"Mereka telah menghibahkan diri mereka, waktu, tenaga, pikiran, perasaan dan doa mereka demi masa depan para murid, anak-anak bangsa ini, anak-anak negara ini. Mereka rela hidup miskin dengan keluarga dan anak-anak mereka sendiri, demi mengajar dan mendidik banyak orang," sambungnya.
Terakhir, Nino menekankan agar pola pengangkatan para guru honorer yang dilakukan pemerintah sebaiknya lebih dititikberatkan pada masa pengabdian bukan lagi pada memecahkan soal-soal teknis yang tidak mencerminkan jeritan hati para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut.
"Wajarnya, para guru yang sudah mengabdi belasan dan puluhan tahun itu diangkat tanpa tes. Toh mereka sudah pengalaman mendidik murid. Itu baru bisa dibilang ada tanda jasa dari negara untuk mereka," tegasnya.