JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sejumlah kalangan menilai tren pasangan calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 diprediksi meningkat. Musababnya, ruang interaksi sosial untuk kampanye terbatasi akibat pandemi Covid-19. Keadaan itu membuat partai politik lebih memilih bakal calon yang sudah punya bekal elektabilitas tinggi dan sumber daya yang kuat.
Efek pandemi juga membuat sumber daya yang dimiliki para calon lawan di daerah semakin mengecil. Modal mereka untuk mengikuti pesta demokrasi tak signifikan sehingga opsi mundur dari perhelatan pilkada menjadi pilihan.
Nemun, pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti berpandangan lain. Ia menilai tren calon tunggal tahun ini tak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya meski fenomena itu diprediksi akan tetap ada.
"Nampaknya gejalanya akan sama dengan sebelumnya. Hanya saja, tidak akan lebih besar dari yang sebelumnya. Ada banyak faktor mengapa trend pasangan tunggal ini tidak marak," kata Ray saat dihubungi, Kamis, 30 Juli 2020.
Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini memaparkan, faktor pertama mengapa tren calon tunggal diprediksi akan menurun karena semua partai yang kadernya berhasil lolos pada pemilihan legislatif daerah sebelumnya akan mempertahankan basis politik mereka.
Hal ini senada dengan kondisi pilkada di Solo yang diprediksi hanya akan diisi oleh calon tunggal dari PDIP, Gibran Rakabuming Raka. Sejumlah partai telah menyatakan sikap untuk mendukung putera pertama Presiden Joko Widodo itu.
Namun pada saat yang sama, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih enggan menentukan sikapnya karena partai ini memiliki lima kursi di DPRD Surakarta. "Sarat bahwa seluruh partai yang memiliki kursi di DPRD harus ikut serta mencalonkan," kata Ray.
Faktor kedua, kurangnya elektabilitas petahana. Menurut Ray, minimnya elektabilitas menjadikan efek mengusung petahana tidak menjadi dominan di daerah.
"Sekalipun banyak petahana yang terlibat, tapi karena mungkin umumnya tidak terlalu mencolok elektabilitasnya membuat partai-partai tidak bisa menjatuhkan pilihan semata-mata pada satu pasangan saja," jelasnya.
Faktor ketiga, lanjut Ray, tersebab tidak adanya calon yang kuat dari petahana untuk bertarung pada pilkada 2020, dengan sendirinya memberi peluang bagi penantang lain untuk juga dapat meraup kemenangan.
"Oleh karena itu, mendorong pasangan baru ikut menjadi pilihan, khususnya di daerah di mana terlihat para petahana tidak terlalu unggul," kata Ray.
Jika dilihat, tren pasangan calon tunggal terus meningkat di tiga gelombang pilkada serentak. Fakta ini dikhawatirkan akan kembali berlanjut di pilkada 2020.
Pada pilkada 2015 yang berlangsung serentak di 269 daerah, tiga daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal. Di 2017, pilkada yang melibatkan 101 daerah juga memperlihatkan 9 daerah menggelar pilkada dengan kondisi yang sama. Jumlah itu semakin meningkat di pilkada 2018. Dari 171 daerah penyelenggara pilkada, 16 daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal.
Guspardi Gaus
Awal Juli lalu, Anggota Komisi Kepemiluan (Komisi II) DPR, Guspardi Gaus, menyebut fenomena calon tunggal bisa terjadi dalam pilkada 2020. Faktor yang mendukung terjadinya calon tunggal saat ini adalah dampak pandemi. Sehingga, kata Guspardi, kelompok partai bisa saja memanfaatkan situasi pandemi untuk mendorong kandidat tertentu sebagai calon tunggal.
Ia mengkritik cara seperti itu. Pasalnya, hal tersebut bisa berdampak buruk bagi pendidikan politik masyarakat. Masyarakat disuguhi cara pandang politik yang mengedepankan menang adalah pilihan. Padahal, adu gagasan untuk kemaslahatan daerah adalah esensi dari digelarnya pilkada.
"Pemilu dalam demokrasi itu apa? Itu kan pertarungan antara satu kandidat dengan kandidat yang lain, bukan antara satu kotak dengan kandidat atau sebaliknya.Kita malu, masa yang menjadi lawan bukan yang berotak, tapi kotak," kata politikus PAN ini kepada TeropongSenayan di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Kamis, 2 Juli 2020 lalu.