JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi Keuangan (Komisi XI) DPR, Ecky Awal Mucharam, menilai rancangan RUU APBN Tahun 2021 yang dibacakan oleh Presiden dalam sidang tahunan MPR kemarin (14/8) perlu disoroti, tidak hanya terkait disiplin fiskal, tetapi arah kebijakan belanja pemerintah.
Legislator Partai Keadilan Sejahtera ini mengatakan, pada RAPBN 2021, angka defisit dipatok mencapai 5,5 persen, angka ini sangat tinggi sehingga pemerintah perlu melakukan disiplin anggaran yang baik.
"Jangan sampai anggaran dibelanjakan secara sia-sia, belanja APBN 2021 harus efektif dan optimal”, kata dalam keterangan tertulis, Sabtu, (15/8).
Menurutnya, dalam kondisi resesi, kebijakan fiskal harus ekspansif, sementara kebijakan belanja pemerintah masih jauh dari harapan. Pada tahun 2019, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) mencapai Rp 53 triliun, meningkat tajam dibandingkan 2018 yang sebesar Rp 36 triliun.
Ecky mengatakan tingginya SiLPA menunjukkan inefektifitas kerja dari Pemerintah, yang akhirnya menciptakan hilangnya peluang pembangunan ekonomi. Dalam kondisi resesi seperti sekarang, ekspansi perlu dilakukan secara optimal. Pemerintah, kata Ecky, perlu lebih serius dalam mengelola kebijakan belanjanya.
Ia mengatakan belum melihat bahwa kebijakan belanja pada RAPBN 2021 yang telah disampaikan dapat membantu Indonesia keluar dari jurang resesi.
“Resesi ini disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang menjadi pengangguran akibat wabah Covid-19, ada persoalan demand side yang besar di sini, seharusnya RAPBN 2020 menyelesaikan permasalahan daya beli ini," kata Ecky.
Ia menambahkan belanja-belanja seperti bantuan sosial dan subsidi yang erat dengan daya beli masyarakat tidak mengalami perubahan signifikan, justru belanja berupa fasilitas perpajakan untuk dunia usaha yang meningkat tajam
Menurut Ecky, resesi tidak akan selesai apabila pemerintah hanya mendorong sisi penawaran, tetapi perlu juga menjaga sisi permintaan. Oleh sebab itu, bantuan-bantuan sosial perlu ditingkatkan dan dimasifkan pada APBN 2021. Ia juga menyoroti kebijakan insentif fiskal yang justru banyak diumbar untuk sektor swasta skala besar. Kebijakan tersebut diyakini tidak terlalu efektif mendorong investasi.
Selama empat tahun terakhir, Ecky mengatakan belanja untuk insentif pajak untuk dunia usaha sudah mencapai Rp 450 triliun. Akan tetapi, realisasi investasi pada industri yang mendapat fasilitas perpajakan seperti logam dasar dan pertambangan hanya mencapai 15 persen dari total realisasi investasi.
"Kalah jauh dari sektor jasa (total 57,5 persen) yang justru minim mendapatkan fasilitas insentif perpajakan”, pungkasnya.