JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Ela Siti Nuryamah menyatakan pihaknya akan memediasi semua kepentingan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker).
"FPKB mencoba mediasi semua kepentingan yang ada bahwa semuanya biasa terasa nyaman. Baik itu dari sisi pengusaha, pekerja/buruh atau naskah yang dicantumkan pemerintah, PKB pasti mengambil sikap yang tidak merugikan semuanya," kata Ela kepada wartawan, kemarin, 19 Agustus 2020.
Badan Legislasi (Baleg) DPR dan sejumlah perwakilan serikat buruh telah sepakat membantuk Tim Perumus (Timus) yang akan membahas sejumlah pasal krusial dalam klaster ketenagakerjaan di RUU Ciptaker pada Kamis dan Jumat (20-21 Agustus 2020).
Ela mengatakan, sebelum tim perumus dibentuk, terdapat 16 serikat pekerja beraudiensi ke DPR. Mereka mempermasalahkan terkait pengaturan upah, jam dan perjanjian kerja yang dinilai merugikan buruh/pekerja. Sebab itu, FPKB akan memediasi hal itu.
"Intinya kita lakukan kajian bersama untuk membahas pasal-pasal krusial kita cari jalan tengahnya," ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR ini memaparkan pasal-pasal yang dikritisi fraksinya. Pertama, Upah Minimal Kabupaten, Provinsi dan nasional.
"Kita sepaham ketika upah minimal provinsi (UMP) bagi kabupaten atau kota yang menerapkan daerah industri, itu akan merugikan pekerja yang mengambil hak per bulannya karena pakai UMP. Padahal di Kabupatennya daerah industri," tegasnya.
Kedua, pengaturan lahan fungsi hutan. Di dalam draft RUU Ciptaker dari pemerintah, kata Ela, 30 persen lahan untuk hutan lindung dihapus. "Kita kekeuh tetap harus dicantumkan. Hutan diseluruh kota tidak boleh untuk bangunan semua. Tetap harus ada batas minimal dalam rangka menjaga lingkungan," katanya.
Ketiga, kewenangan daerah diambil semua oleh pemerintah pusat. Dalam draft RUU Ciptaker memang menarik kewenangan daerah diatur semuanya ke pusat. Menurut Ela, hal itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang mengatur adanya otonomi daerah dengan sistem desentralisasi.
Sebab itulah, lanjut Ela, fraksinya mempertanyakan hal tersebut. Namun, saat ini hal itu sudah di respons oleh pemerintah. Padahal, akhirnya semua aturan, baik perizinan usaha, harus ada Norma Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Sementara, pemda tinggal menjalankan NSPK yang ditetapkan pemerintah pusat. "Sekarang aturannya dari pusat, yang menjalankan daerah," pungkasnya.