JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Di tengah wacana Revisi UU Otonomi Khusus Papua Barat Nomor 21 Tahun 2001 dan Papua Barat, berbagai stakeholder yang terdiri dari unsur Pemerintah Daerah dan Legislatif merapatkan barisan dalam rangka turut mengawal revisi tersebut.
Diketahui, penerimaan (dana) sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 huruf c UU Otonomi Khusus berlaku selama 20 (dua puluh tahun). Merujuk pada awal pemberlakukan UU tersebut, maka tahun 2021, penerimaan dana tersebut berakhir.
Berdasarkan daftar program legislasi nasional prirotas tahun 2020, Revisi UU Otonomi Khusus Papua merupakan salah satu RUU yang diprioritaskan pada tahun 2020.
Meski demikian, melihat dinamika persoalan di Papua dan Papua Barat serta beragam pro dan kontra atas revisi RUU serta kebijakan Otonomi Khusus itu sendiri, maka sejumlah pihak memandang perlunya pembahasan yang lebih komprehensif dan mendalam atas substansi RUU Otonomi Khusus Papua.
Hal itu mengemuka dalam pertemuan antara DPRP Papua, Pemerintah Daerah Provinsi Papua serta Forum Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPR-DPD RI Daerah Pemilihan Papua dan Papua (MPR for Papua) pada Kamis, 27 Agustus 2020 di Jakarta.
Pada kesempatan itu, Ketua DPRP Papua, Jhony Banua Rouw menyampaikan bahwa saat ini Pihak DPRP sebagai legislator sedang melakukan kerja-kerja legislasi dalam rangka mematangkan konsep tentang revisi RUU Otonomi Khusus Papua.
"Hal itu dilakukan dengan cara menerima dan mengumpulkan aspirasi masyarakat Papua tentang revisi tersebut," kata Banua Rouw.
Menurut John, DPRP Papua juga telah menjalin komunikasi yang intensif dengan pihak masyarakat, termasuk dengan Pemerintah Daerah Provinsi Papua.
Sementara itu, Asisten I Pemerintah Daerah Provinsi Papua, Doren Wakerkwa, menyatakan bahwa saat ini Pemerintah Daerah Papua sedang melakukan komunikasi dengan Kementerian Dalam Negeri terkait dengan revisi RUU Otonomi Khusus Papua.
Dalam berbagai komunikasi tersebut, Doren menyatakan bahwa Pihak Kementerian Dalam Negeri terkesan terburu-buru dan memaksakan RUU Otonomi Khusus Papua ini segera disahkan.
"Sementara berbagai stakeholder di Papua belum sepenuhnya memiliki persepsi yang sama tentang substansi maupun isi dari revisi yang dimaksud," ucapnya.
Beberapa Anggota DPRP yang turut hadir dalam pertemuan itu juga menyampaikan hal yang senada. Mereka memandang bahwa pemerintah pusat seakan-seakan memaksakan kehendak dan pikirannya untuk segera mengesahkan revisi UU Otonomi Khusus. Mereka bahkan mencurigai ada agenda tersembunyi di balik itu.
“Jika Papua dan Papua Barat adalah bagian dari NKRI, maka jangan memaksakan kehendak untuk segera mengesahkan Revisi UU Otonomi Khusus, tanpa penerimaan dan penyamaan persepsi dari seluruh masyarakat Papua," demikian ungkap Anggota DPRP Papua.
Dalam kesempatan itu, MPR for Papua turut angkat bicara terkait dengan keresahan, kegelisahan dan aspirasi DPRP Papua serta Pemerintah Daerah Papua. Ketua MPR for Papua yang juga Anggota DPD RI, Yorrys Raweyai, menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri sebagai perwakilan pemerintah pusat tidak boleh terburu-buru dalam memberi tenggat waktu pengesahan Revisi UU Otonomi Khusus.
Sebagai produk perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan masyarakat Papua, UU Otonomi Khusus sesungguhnya memiliki sejarah panjang yang sejatinya dipahami sebagai semangat untuk memberi kesempatan yang seluas-luasnya bagi aspirasi masyarakat Papua.
“UU Otonomi Khusus dengan segala poin di dalamnya merupakan kebijakan afirmatif yang seharusnya mampu lebih leluasa memberi kesempatan bagi masyarakat Papua untuk menentukan arah kehidupan yang lebih baik," kata Yorrys.
Menurut Yorrys, persoalan Papua bukan hanya soal pendanaan, tapi bagaimana kebijakan afirmatif itu dipahami secara sama dan tidak berbeda antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta segala perangkat legislasi di bawahnya.
“Atas dasar itu, logika bahwa revisi ini harus dikebut sebelum akhir tahun, adalah logika yang keliru," menurut Yorrys.
Yorys menyatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri sebagai perwakilan pemerintah pusat keliru memandang bahwa UU Otonomi Khusus selesai pada tahun 2021.
“UU Otonomi Khusus Papua seterusnya berlaku sampai ada perubahan. Yang dievaluasi saat ini adalah pendanaan 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU) sebagaimana amanat UU Otonomis Khusus Papua. Tentu saja pendanaan itu harus terus dievaluasi dan dilanjutkan kebijakannya. Selebihnya, UU Otonomi Khusus Papua juga harus selalu dievaluasi terkait konsistensi implementasinya saat ini secara komprehensif, sesuai dengan prinsipa lokalitas, kebudayaan, keadilan, dan kesejahteraan," terang Yorrys.
Selain Yorrys, turut hadir Anggota MPR for Papua lainnya, yakni Filep Wamafma (Sekretaris MPR for Papua), Roberth Rouw, Sulaeman L Hamzah dan Trifena M. Tinal. Selain senada dengan apa yang disampaikan oleh Yorrys, Robert Rouw bahkan menegaskan bahwa dana 2% dari DAU untuk Papua tidaklah sebanding dengan apa yang dibutuhkan Papua dan Papua Barat dengan segala kompleksitas persamasalahan dan dinamikan.
Sementara itu, sebagai Anggota Badan Legislasi, Sulaiman L. Hamzah juga menegaskan akan terus memantau perkembangan pembahasan revisi tersebut di Badan Legislasi DPR RI. “Intinya, hingga saat ini, tidak ada perkembangan yang mengarah pada pengesahan yang tergesa-gesa terkait revisi UU Otonomi Khusus Papua di Baleg DPR RI," tegas Sulaiman. Semua masih berlangsung sebagaimana mestinya sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua.