JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pengamat Politik, Hukum dan Keamanan Dr Dewinta Pringgodani, SH MH sepakat bahwa peran kepemimpinan saat pandemi harus dipegang oleh ahli atau profesional kesehatan, bukan ahli atau profesional ekonomi dalam rangka menjadikan penanganan pandemi sebagai prioritas utama pemulihan kesehatan dan ekonomi nasional.
"Peran kepemimpinan di masa Covid-19 saat ini harus dipegang oleh para ahli atau profesional kesehatan, bukan ahli atau profesional ekonomi, karena krisis ini adalah krisis kesehatan," kata Dewinta kepada wartawan, Jumat (11/9/2020).
Menurutnya, hal yang paling penting untuk pandemi saat ini kesehatan masyarakat yang paling utama, jika kasus Covid-19 tidak berkurang maka sektor ekonomilah yang menjadi dampak terdepan.
"Krisis kali ini sangat jauh berbeda dengan krisis-krisis ekonomi sebelumnya karena dimulai oleh krisis kesehatan pandemi Covid-19, sehingga semua energi, anggaran, fokus, dan respons kebijakan harus ditujukan pada penanganan masalah kesehatan," kata Dewinta.
Dewinta melihat krisis akibat COVID-19 itu memaksa pemerintah untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan PSBB ini mengurangi aktivitas atau kegiatan fisik secara signifikan.
Sayangnya di Indonesia kegiatan fisik atau kontak fisik merupakan salah satu pilar paling penting dalam perekonomian nasional.
"Dengan demikian kalau tidak melakukan kegiatan atau kontak fisik, maka kegiatan perekonomian berkurang drastis," kata Dewinta.
Ketika masyarakat berupaya mengurangi aktivitas fisik ini dengan beralih ke kegiatan virtual atau kontak digital, hal tersebut belum bisa untuk menstimulasi roda perekonomian nasional secara maksimal.
Masyarakat masih menganggap bahwa kegiatan atau kontak fisik, seperti perdagangan, seminar fisik dan pembelajaran tatap muka lebih efisien dan efektif dibandingkan kegiatan virtual atau kontak digital.
Ini adalah realitas mengapa pandemi tersebut bisa menimbulkan krisis ekonomi cukup berat. Pandemi Covid-19 telah membuat masyarakat tidak nyaman dan khawatir untuk melakukan kegiatan atau kontak fisik, sehingga karena pandemi tersebut masyarakat kemudian mengalami masalah ekonomi.
"Seberapa besar anggaran yang dikeluarkan oleh Komite Penanganan COVID-10 dan PEN untuk menangani masalah tersebut tidak akan cukup jika krisis kesehatan belum terselesaikan. Dengan demikian penanganan kesehatan harus menjadi prioritas utama," kata Dewinta.
Bukan cuma itu, saat ini seluruh rumah sakit rujukan Covid-19 nyaris penuh, sehingga tidak mampu menampung pasien baru.
"RS rujukan maupun RS swasta keblinger menampung pasien suspek," ungkap Dewinta.
Karenanya Dewinta mengaku setuju dengan keputusan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang akhirnya menarik rem darurat sebagai upaya menekan angka penularan pandemi Covid-19 yang semakin meroket.
"Semoga rem darurat ini diikuti daerah-daerah lain yang menjadi urutan kedua, ketiga dan seterusnya untuk memutus mata rantai Covid-19," pungkas Dewinta.
Sebelumnya, Anies menjelaskan, indikator utama dalam keputusan tersebut adalah tingkat kematian (Case Fatality Rate) dan tingkat keterisian rumah sakit (Bed Occupancy Ratio) baik untuk tempat tidur isolasi, maupun ICU yang semakin tinggi dan menunjukkan bahwa Jakarta berada dalam kondisi darurat.
"Maka, dengan melihat kedaruratan ini, tidak ada pilihan lain bagi Jakarta kecuali untuk menarik rem darurat segera," kata Anies di Balaikota DKI Jakarta, Rabu (9/9).