JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Pakar Hukum Pidana, Prof Romli Atmasasmita mengaku tidak sepakat dengan revisi Undang-Undang (RUU) Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004. Karena, kewenangan jaksa untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan harus menunggu dari hukum acara pidana (KUHAP) yang lagi digodok.
Dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
“Saya tidak sependapat kalau prosedur pembahasan ini lebih didulukan dari hukum acaranya (KUHAP), rancangannya. Proses itu payung hukumnya acara pidana (KUHAP),” kata Prof Romli kepada wartawan Selasa, (29/9/2020).
Menurut dia, payung hukum proses tidak menyebut secara tegas bahwa penuntut itu adalah penyidik. Akan tetapi, kejaksaan itu dominus litis bahwa penuntut tunggal dan penyidikannya untuk tindak pidana tertentu yakni tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dan pelanggaran HAM berat.
”Jadi payungnya dulu, karena proses beracara kan tidak ada hukum acara kejaksaan. Saya katakan tidak setuju (RUU Kejaksaan), sabar saja menunggu perubahan KUHAP yang sudah ada di Prolegnas DPR,” ujarnya.
Ia mengatakan kewenangan jaksa mau diperluas lagi lewat RUU Kejaksaan, tidak lagi semata-mata melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu saja (korupsi, TPPU dan pelanggaran HAM berat). Namun, jaksa ingin menangani tindak pidana administrasi yang ada di kementerian atau lembaga.
“Mau diambil, boleh (memang). Jadi UU Kejaksaan memberi celah untuk keluar. Tapi, payung hukumnya (KUHAP) menyebut penuntut. Lex spesialisnya ya UU Tipikor, TPPU dan pelanggaran HAM. Tapi sekarang, yang spesialis itu ingin diperluas oleh UU tentang struktur organik kejaksaan yang harusnya KUHAP,” jelas dia.