JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Berbagai serikat pekerja yang merupakan afiliasi Global Unions Federations menyatakan kekecewaannya terhadap hasil pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tingkat pertama pada Sabtu malam (3/10), di mana mayoritas fraksi di DPR RI dan pemerintah sepakat untuk melanjutkan pembahasan ke tingkat II di Sidang Paripurna DPR RI mendatang.
Dalam keterangan tertulis yang diterima TeropongSenayan, Senin (5/9), Presiden FSBMM, Dwi Haryoto, mengatakan alasan para buruh mendesak RUU Cipta tak dilanjutkan ke Sidang Paripurna lantaran perubahan yang fundamental dari undang-undang tersebut terkesan dipaksakan di saat kondisi masih pandemi.
Belum lagi, kata dia, muatan RUU ini yang bisa berdampak buruk bagi kalangan buruh dan masyarakat.
Lebih lanjut Dwi menjelaskan, perubahan besar pada hukum membutuhkan perdebatan dan diskusi dalam situasi atau lingkungan yang memungkinkan adanya kebebasan berpendapat dengan cara berkumpul dan berdialog. Dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini, hal itu tentu tidak mungkin dilakukan.
Sementara itu, Ketua Umum Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI) Salman, menilai serikat pekerja menilai diberi kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam memperdebatkan undang-undang yang akan mempengaruhi kehidupan banyak masyarakat.
"Oleh karena itu, omnibus law harus dihentikan dan diskusi lebih lanjut harus dilakukan setelah pandemi ini berakhir, ketika kita dapat berbicara dan berpartisipasi dengan bebas,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum PPIP PS Kuncoro, mengatakan, jika RUU Omnibus Law ini di sahkan menjadi undang-undang, maka akan berpotensi melanggar tafsir konstitusi, terutama dalam subklaster ketenagalistrikan, dimana putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015, tidak digunakan sebagai rujukan pada UU Cipta Kerja.
Hal ini, kata dia, akan mengakibatkan adanya pelanggaran UUD 1945 NRI Pasal 33 ayat (2), di mana tenaga listrik yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak lagi dikuasai negara, bahkan ujungnya berpotensi akan mengakibatkan kenaikan tarif listrik ke masyarakat.
Selain itu, ia menilai RUU Omnibus Law akan menciptakan ancaman terbukanya kemungkinan lingkungan dan sumber daya alam Indonesia untuk dieksploitasi oleh korporasi swasta/profit. Tanpa aturan yang jelas, lingkungan alam milik negara hanya akan menjadi peluang bisnis dan akan dihancurkan untuk mencapai keuntungan semata.
Presiden FSPM Husni Mubarok menambahkan, RUU Cipta Kerja memberikan janji semu akan tersedianya lebih banyak pekerjaan di masa depan. Ia menegaskan RUU Cipta Kerja justru akan mengurangi jaminan akan pekerjaan dan memungkinkan pengusaha untuk mengeksploitasi lebih banyak pekerja kontrak dengan upah rendah dan pekerjaan outsourcing di semua sektor.
Di samping itu, ia melanjutkan, pekerjaan yang tersedia adalah pekerjaan dengan upah rendah yang terjamin, namun tanpa adanya kepastian masa depan. Pekerjaan ini, menurutnya, adalah pekerjaan yang tidak permanen yang didasarkan pada rasa takut untuk mendapatkan pekerjaan kontrak berikutnya.
Hal lain disampaikan Presiden FSP2KI, Hamdani. Ia mengatakan RUU Cipta kerja juga mengancam akan dihilangkannya cuti berbayar, termasuk hak-hak yang mengikuti cuti melahirkan yang begitu penting bagi kesehatan dan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
"Dengan begitu banyaknya kerusakan pada sistem kesehatan masyarakat Indonesia di masa pandemi ini, mengapa pemerintah malah ingin menyerang kesehatan dan kesejahteraan kita?," ujarnya.
Ketua Umum SERBUK Indonesia, Subono, menilai pekerjaan baru yang dijanjikan oleh Omnibus Law ini bukanlah pekerjaan nyata. Tapi, kata dia, itu adalah pekerjaan berupah murah dan bersifat sementara. Sementara dalam krisis ekonomi akibat pandemi ini, masyarakat membutuhkan adanya percepatan pemulihan ekonomi.
Pemulihan ekonomi ini tentu tidak datang dari investasi asing yang masuk ke Indonesia untuk mengeksploitasi tenaga kerja outsourcing, mengambil sumber daya alam, dan merusak lingkungan kita.
“Kita tidak dapat pulih secara ekonomi dengan dasar upah murah dan pekerjaan yang tidak terjamin. Hanya pembelanjaan domestik dengan dasar pekerjaan tetap dan upah layak yang dapat membantu Indonesia pulih dari pandemik,” ungkapnya.
FSPM, FSBMM, PPIP, Indonesia, SERBUK, dan FSP2KI mendapat dukungan penuh dari afiliasi di tingkat internasional, dimana BWI, IUF, IndustriAll, ITF dan PSI mewakili lebih dari 110 juta anggota di dunia siap untuk melakukan perlawanan bersama-sama untuk menolak Omnibus Law dan menyerukan lima hal berikut:
Pertama, menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dengan tidak melanjutkan ke tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI.
Kedua, Memastikan bahwa UU No 13/2003 tidak boleh diubah atau dikurangi. Sekalipun ada penguatan hanya sebatas pada fungsi pengawasan pelatihan dan pendidikan sehingga akan sesuai dengan kondisi sekarang.
Ketiga, merundingkan kembali dan membuka dialog konstruktif dengan serikat pekerja untuk mencapai dan membahas masalah yang tidak tercakup dalam UU Ketenagakerjaan No.13/2003.
Keempat, memastikan pasal-pasal di dalam sub-klaster Ketenagalistrikan yang sudah mendapat putusan dari Mahkamah Konstitusi tidak dihidupkan lagi dalam RUU Cipta Kerja.
Kelima, mendukung agenda buruh Indonesia yang akan melakukan mogok nasional pada tanggal 6, 7, dan 8 Oktober 2020.