JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Beberapa waktu belakangan ini viral film dokumenter berjudul "The Social Dilema" yang berisi pandangan dari para mantan pegawai dan eksekutif perusahaan raksasa teknologi dan media sosial. Seperti Facebook, Google, YouTube, Twitter, Instagram, hingga Pinterest.
Film ini menggambarkan betapa "seramnya" teknologi internet dan media sosial karena semua data aktivitas yang seseorang lakukan di internet diawasi, direkam, dan diukur oleh sistem algoritma yang telah dirancang sedemikian rupa untuk memata-matai kehidupan manusia.
Lewat olah data ini, media sosial digambarkan menjadi alat untuk mempengaruhi perilaku seseorang.
Polemik pun muncul hingga pihak Facebook melayangkan kritik terhadap film dokumenter tersebut. Hal ini bertepatan dengan sedang dibahasnya Rancangan Undang-undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) di DPR yang sangat terkait dengan soal pengolahan data pribadi lewat algoritma tadi.
Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta berjanji akan memperjuangkan pengaturan yang ketat dalam regulasi soal pelindungan data yang kini tengah digodok di DPR.
"Saya menyoroti soal penggunaan algoritma di internet dengan konteks RUU PDP yang sedang kami bahas di Komisi I DPR bersama Pemerintah. Dengan penggunaan algoritma ini platform media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, youtube, line, dan seterusnya, bisa mengetahui pola suatu masyarakat sampai bisa mempengaruhi perilaku hidup mereka. Sehingga hal ini berpotensi menjadi masalah ketika digunakan untuk menginvasi privasi warga negara. Karenanya kita sangat perlu mengatur hal ini dalam RUU PDP," tandas Politikus PKS itu dalam keterangan tertulis, Selasa (10/11/2020).
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini menjelaskan misalnya, ketika seseorang mengaktifkan lokasi, google merekam perilaku perjalanannya, inilah yang dinamakan jejak digital.
Lalu algoritma media sosial merekamnya dan menganalisisnya menjadi preferensi, kebiasaan dan bahkan pilihan-pilihan dari urusan sederhana seperti soal selera makanan, belanja ekonomi, sampai ke hal-hal yang lebih kompleks seperti pandangan dan pilihan politik, sambungnya.
"Ini yang bisa kita sebut sebagai profiling. Perilaku kita bisa dibaca lewat ini, dan tentunya platform media sosial akan merekayasa perilaku kita dengan tawaran-tawaran konten tertentu berdasarkan hasil profiling tadi," jelasnya.
"Kita pastinya pernah mendapat cookies iklan atau konten yang serupa atau sejenis dengan konten yang pernah kita cari sebelumnya di internet. Ini contoh yang paling sederhana. Ini bisa berpotensi masuk dalam ranah intervensi yang mengganggu privasi jika tidak diatur secara memadai."
Contoh yang lebih besar, Sukamta melanjutkan, misalnya, profiling tadi diperluas menjadi mengarahkan perilaku politik seperti kasus pencurian data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica.
Jika profiling diolah lagi, ungkapnya, bisa menghasilkan data agregat.
Menurutnya, ini bukan hanya soal kepentingan statistik biasa, tapi bisa mengarah kepada hal yang sangat strategis bagi kepentingan negara kita. Bukankah ini akan membahayakan keamanan pribadi dan bahkan bisa mengancam keamanan nasional?
"Jadi, demi keamanan serta kenyamanan masyarakat dan negara, data-data pribadi yang diambil dari proses penggunaan piranti cerdas ini termasuk data pribadi yang harus dilindungi. Karenanya, menurut saya ini relevan diatur lebih jelas dan tegas dalam RUU PDP untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan. Pelanggaran di dalamnya harus bisa dipidanakan untuk menimbulkan efek jera," ujar wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.