JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersiap melebarkan sayapnya melalui Jejaring Pancamandala. Program Pancamandala berangkat dari forum diskusi berbagai elemen guna mencari gagasan sosialisasi dan implementasi Pancasila secara terstruktur, khususnya di daerah.
Jejaring pertama dideklarasikan di Provinsi Banten pada 15 Oktober 2020, bertempat di UIN Sultan Maulana Hasanuddin (SMH). Pancamandala kemudian dibentuk lagi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Selasa-Rabu, 17-18 November 2020.
Pelaksana tugas (Plt) Deputi Hubungan Antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan BPIP, Prof Adji Samekto, mengatakan lembaganya merangkul lima elemen untuk merumuskan sejumlah strategi maupun sistem sebagai bentuk peran dan fungsi Pancamandala.
"Diharapkan sistem (Pancamandala) ini dapat menjadi teknis pelaksanaan sosialisasi yang mampu memperkokoh kehidupan bermasyarakat, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta," kata Adji saat memberi materi pembuka Jejaring Pancamandala Yogyakarta, dikutip dari siaran pers BPIP, Selasa (17/11/2020).
Adapun kelima elemen Pancamandala tersebut adalah: Pemerintah, Badan Usaha, Akademisi, Media, dan Masyarakat.
Adji mengatakan, Pancamandala adalah bagian dari ikhtiar BPIP membumikan Pancasila secara konkret. Lebih jauh dari itu, dia menegaskan Pancamandala memiliki tujuan besar menjadikan Pancasila sebagai landasan pembangunan nasional.
Namun, untuk membangun pondasi bangsa yang berasaskan Pancasila, terlebih dahulu harus memperkuat akarnya di daerah. Adji memaparkan ada empat alasan mengapa Pancasila perlu diarusutamakan di wilayah paling dasar Indonesia.
Pertama, alasan historis. Adji menjelaskan Pancasila adalah landasan ideologi yang terumuskan dalam pembukaaan UUD 1945. Posisi itu menandakan bahwa Pancasila menempati urutan teratas sebagai sumber moral kehidupan bangsa Indonesia.
“Rumusan pembukaan pancasila dalam UUD adalah norma dasar tertinggi, yang dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangn,” kata Adji.
Kedua alasan filosofis. Pancasila, kata Adji, merupakan hal yang mendasar dan mengandung nilai-nilai. Oleh karena ia mengandung nilai, maka Pancasila bersifat abstrak. Sebuah nilai pastilah bermula dari hal yang melekat pada bangsa: seperti bersumber dari fakta dan bersumber dari pengalaman akal.
Fakta menjadi realitas yang terjadi secara determinan dalam kehidupan eksternal masyarakat. Namun, berkat akal manusia, sesuatu bisa kemudian bernilai dan menjadi budaya bagi kelompok masyarakat.
Kendati begitu, sebuah fakta ada yang bersifat negatif, seperti perbudakan di masyarakat. Namun, seiring perkembangan akal manusia, sistem semacam itu kemudian dinilai sebagai perbuatan yang tidak manusiawi. Dari sinilah kemudian muncul nilai-nilai kemanusiaan.
"Dengan demikian, secara nilai, Pancasila berarti bersumber dari pengalaman fakta dan pengalaman akal masyarakat Indonesia," kata Adji.
Ketiga adalah alasan yuridis. Seperti ditekankan Adji, Pancasila berperan sebagai norma dasar tertinggi yang akan melahirkan hukum positif. Pancasila adalah sumber dari segala sumber Negara. “Jadi baik peraturan di tingkat daerah maupun di tingat pusat, itu tidak boleh bertentangan dengan pancasila,” tutur Adji.
Keempat, alasan sosiologis. Seiring arus globalisasi (1989-1990), masyarakat dunia dihadapkan pada kebijakan dunia tentang pasar bebas. Kemudian berlanjut ke masa Reformasi (1997-1998), yang pada gilirannya menciptakan "The lack of ideology" pada generasi milenial. Dari sini lalu muncul gerakan-gerakan transnasionalisme, seperti radikalisme dan terorisme.
Tantangan dalam poin terakhir ini menurut Adji diperlukan sebuah solusi preventif agar Pancasila tidak tercampakkan. Untuk itu, Pancamandala dengan menggandeng berbagai elemen dibentuk agar mendorong adanya terobosan pengarusutamaan Pancasila.
"(Karenanya) pembinaan ideologi Pancasila tidak bisa dilakukan oleh satu pihak, BPIP perlu melibatkan seluruh komponen kekuatan dalam masyarakat baik dari unsur Pemerintah, Badan Usaha, Akademisi, Media dan masyarakat," kata Adji.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi Pemerintahan (Komisi II) DPR Sukamto mengungkapkan, Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum belakangan mendapatkan sejumlah tantangan yang berakibat tergerusnya sistem hukum nasional. Tantangan tersebut antara lain menguatnya pluralisme hukum yang mengakibatkan terjadinya kontradiksi-kontradiksi atau disharmonisasi hukum.
"(Kemudian) Pancasila cenderung masih dicetuskan sebagai simbol dalam pembentukan hukum nasional, belum sampai pada mewujudkan esensi nilai-nilai Pancasila dalam produk hukum," katanya.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini juga mengutarakan tiga upaya sebagai solusi mempertahankan dan mengamalkan Pancasila. Pertama, dia menuturkan, perlu keikhlasan semua komponen bangsa Indonesia untuk menerima dan merealisasikan Pancasila dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Disertai keyakinan tidak perlunya memiliki orientasi mengganti Pancasila dengan ideologi lain," katanya.
Kedua, memahami dan menghayati Pancasila dalam kehidupan sehari-hari secara komprehensif. Hal ini, kata Sukamto, wajib dilakukan oleh semua rakyat, mulai dari para aparatur negara di tingkat pusat hingga daerah dan desa.
Ketiga, lanjut Sukamto, mengoperasionalkan seluruh sistem nilai Pancasila dalam segala level kehidupan sosial masyarakat, baik pada sistem nilai maupun kelembagaan negara.
"Dalam konteks ini, negara tidak bisa memaksa rakyatnya untuk menjalankan Pancasila secara baik dan benar, jika negara belum mampu merekonstruksi UU ataupun kebijakanya, serta membangun kelembagaan negara sesuai dengan nilai-nilai Pancasila," jelas Sukamto.