Opini
Oleh Tony Rosyid Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa pada hari Senin, 22 Feb 2021 - 08:27:36 WIB
Bagikan Berita ini :

Banjir Jakarta, Baca Data Biar Tidak Gagal Paham

tscom_news_photo_1613957256.jpg
Tony Rasyid (Sumber foto : Ist)

Banjir Jakarta itu ada sejak zaman Belanda. Betul, tapi gak boleh jadi alasan. Banjir Jakarta itu kiriman dari Bogor. Ini juga betul, tapi gak patut untuk dikemukakan. Banjir Jakarta karena curah hujan yang ekstrim. Lagi-lagi, ini gak boleh juga ditonjolkan.

Banjir Jakarta mesti dilihat dari cara menanganinya? Bagaimana cara mengukurnya?

Pertama, durasi genangan air. Di sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Kalimantan, banjir gak surut hingga dua pekan. Bahkan lebih. Publik gak ribut, karena bukan Jakarta. Ingat, Jakarta itu Ibu Kota. Apapun yang terjadi di ibu kota, media menyorot dan publik ramai. Apalagi gubernurnya Anies Baswedan.

Banjir di Jakarta, hanya rata-rata dua jam hingga setengah hari, hilang. Anda mau bilang ini banjir atau genangan, itu hanya soal persepsi.

Kalau hari ini durasi banjir makin singkat dari tahun-tahun sebelumnya, itu tandanya ada penanganan yang lebih baik.

Kedua, luas banjir atau genangan. Tahun 2002, curah hujan 168 mm/hari menggenangi 353 RW (165 M2). Tahun 2013, curah hujan 100 mm/hari menggenangi 599 RW (240 M2). Tahun 2015, curah hujan 277 mm/hari menggenangi 702 RW (281 M2). Tahun ini (2021), curah hujan 226 mm/hari menggenangi 113 RW (4 M2).

Ketiga, jumlah pengungsi. Tahun 2002, jumlah pengungsi 154.270. Tahun 2007, ada 276.333. Tahun 2013, ada 90.193. Tahun 2015, ada 45.813. Tahun 2020, ada 36.445. Dan tahun ini (2021), ada 1.311. Jauh mengecil jumlah pengungsinya.

Coba cermati, bila perlu baca berulang-ulang data di atas. Ini penting. Kalau kita gak baca data ini, bisa gagal paham. Kalau gagal paham, akan mispersepsi. Akibatnya, bicara bukan by data, tapi pakai perasaan. Kira-kira, dan itu tidak ilmiah.

Lihat data di atas, makin kemari, makin menyempit lokasi yang tergenang. Juga makin sedikit jumlah pengungsinya. Meski curah hujannya tidak kalah lebat.

Banjir tahun ini (2021), terutama tahun lalu (2020) yang sangat ekstrem dengan curah hujan 377 mm/hari, daerah area strategis aman dari serbuan banjir. Sementara tahun 2002, 2007, 2013 dan 2015, banyak area strategis yang tergenang air.

Lokasi, lokasi pengungsian otomatis juga makin sedikit, karena jumlah warga yang mengungsi makin sedikit. Banjir tahun 2013, lokasi pengungsian ada 1.250. Tahun 2015, ada 409. Tahun 2020, ada 269. Dan tahun ini ada 44 lokasi pengungsian.

Tahun ini, jumlah kematian makin sedikit. Satu digit. Sementara, banjir di tahun-tahun sebelumnya korban meninggal berjumlah puluhan. Meski demikian, Pemprov DKI harus kerja keras agar jumlah korban jiwa l "zero".

Kalau melihat data ini, kerja Pemprov DKI makin lama makin membaik, khususnya dalam menangani banjir. Peran pemerintah pusat dan gubernur-gubernur sebelumnya tentu tak dilupakan.

Selain masalah kemacetan di Jakarta yang sudah jauh berkurang sebelum masa pandemi, problem banjir di DKI makin terurai. Ini dilihat dari makin menyempitnya area banjir, makin berkurangnya jumlah dan area pengungsian, serta makin cepat genangan itu surut. Dan yang utama, jumlah korban jiwa makin kecil, dan banjir tak menggenangi area strategis.

Satu PR bagi Pemprov DKI: apakah tahun depan (2022-2023) banjir bisa terusir dari Jakarta? Perlu strategi yang tepat.

Soal evaluasi dan kritik terhadap gubernur DKI, itu baik, dan tetap harus dihidupkan. Yang penting proporsional. Sebab, jika berlebihan, justru kritik itu akan dipertanyakan dan dievaluasi oleh publik.

Kritik, selain berfungsi check and balances, dan ini akan dapat menjaga kesadaran dan kewaspadaan Pemprov DKI. Fungsi lain, kritik juga bisa jadi "iklan" bagi pengkritiknya. Kalau gak kritik gubernur DKI, media gak tertarik untuk meramaikan. Kadang anggota DPRD DKI, atau pengurus dan binaan parpol, mengkritik Anies, tujuan utamanya bukan sebagai kritik itu sendiri, tapi "iklan". Ini sah dan terbukti memang sangat efektif untuk meningkatkan popularitas. Langkah kreatif dan inovatif.

Sekali lagi, selama kritik itu proporsional, maka ini akan menghidupkan dialektika pemerintahan yang normal, wajar dan sehat. Kalau gak proporsional, dosa tanggung sendiri.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #banjir-jakarta  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Tidak Ada Kerugian Negara Dalam Pemberian Izin Impor Gula 2015: Ilusi Kejagung

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Senin, 04 Nov 2024
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Tom Lembong telah menyalahgunakan wewenang atas pemberian izin impor Gula Kristal Mentah tahun 2015 kepada perusahaan swasta PT AP, sehingga merugikan keuangan ...
Opini

Paradoksnya Paradoks

Ketika Prabowo Subianto berbicara tentang pentingnya pemerintahan yang bersih dan tegaknya keadilan di Indonesia, semangatnya tampak membara. Gema suaranya seolah beresonansi dengan berbagai tokoh ...