JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Pakar Informasi dan Teknologi dari Perbanas Institute, Harya Damar Widiputra mendorong Pemerintah Indonesia, Dewan Pers serta media-media di tanah air agar mau belajar pada pengalaman Australia dalam hal menegakkan kedaulatan digital.
Pasalnya, ungkap Harya, Australia sukses menekan raksasa-raksasa digital dunia untuk tunduk dan patuh pada kepentingan negara tersebut. Terbaru, taipan media Rupert Murdock melalui perusahaan medianya mampu membuat Facebook mau berbagi keuntungan di Australia.
"Jadi menurut saya, apa yang dilakukan oleh Pemerintah Australia itu merupakan sebuah terobosan yang seharusnya bisa menjadi inspirasi dan ditiru juga oleh negara-negara lain termasuk Indonesia," tandas Harya kepada wartawan, Selasa (16/03/2021).
Diketahui, jelas Harya, keberpihakan pemerintah Australia terhadap kedaulatan digital di negaranya dibuktikan dengan langkah konkret yaitu dengan membuat regulasi yang berpihak pada industri media lokal.
"Awal dari munculnya undang-undang tentang kewajiban perusahaan penyedia layanan platform atau OTT untuk membayar konten berita lokal ini kan karena fakta bahwa beberapa tahun terakhir media massa di Australia kehilangan pemasukan dari sumber iklan, padahal iklan adalah salah satu sumber utama pemasukan media massa," jelas Harya.
"Kenapa hal ini bisa terjadi, ya karena semakin berkurang orang yang mengunjungi situs-situs mereka disebabkan oleh dapat diambilnya secara langsung berbagai berita itu oleh OTT seperti halnya Facebook dan Google," sambungnya.
Apalagi, kata dia, ditambah dengan begitu mudahnya pengguna OTT menyebarluaskan berbagai konten berita melalui platform sosial media yang mereka gunakan.
"Ini jelas secara perlahan (atau mungkin justru cepat) mempengaruhi kemampuan media massa lokal untuk bertahan, mereka yang memproduksi berita tapi kontennya dinikmati secara bebas melalui platform sosial media dan yang mendapatkan keuntungan adalah perusahan OTT yang menyediakan layanan platform sosial media tersebut," tandasnya.
Sekali lagi, tegas Harya, apa yang ditetapkan Pemerintah Australia, seharusnya ini bisa dijadikan acuan oleh media massa di Indonesia untuk kemudian dikomunikasikan ke Dewan Pers Indonesia.
"Yang juga kita yakini pasti akan sepemikiran untuk dapat mengadvokasi pentingnya kita memiliki peraturan yang serupa. Ini akan dapat menjaga konten lokal kita dan juga membantu menjaga keberlangsungan industri media massa domestik," ujarnya.
Menurutnya, Pemerintah tidak perlu takut bahwa Facebook akan melakukan blokir layanannya seperti yang dilakukan di Australia, datanya jumlah pengguna Facebook di Australia ada 11.23 juta per akhir 2020, sedangkan pengguna Facebook di Indonesia 140 juta per akhir 2020.
"Jumlah pengguna Facebook kita sekitar 12 kali lipat dari Australia, jadi kalau di Australia saja Facebook akhirnya mau tunduk dengan ketentuan yang memperjuangkan media massa lokal, saya cukup optimis Facebook pasti akan berpikir dua kali untuk memblokir layanannya di Indonesia," tegasnya.
Namun demikian, saran dia, ketegasan Pemerintah dalam kerangka mewujudkan kedaulatan digital juga mesti dibarengi dengan adanya regulasi yang kuat mengatur soal itu. Peraturan Pemerintah (PP) saja tidak cukup kuat untuk mengatur mereka (OTT).
"Saat ini belum ada aturan tentang hal itu, makanya saya sampaikan Dewan Pers sebaiknya bisa mengikuti langkah tadi, dan melakukan advokasi melalui Kemenkominfo untuk bisa dibuat aturannya," saran Harya.
Diketahui, baru-baru ini Facebook akhirnya setuju membayar perusahaan raksasa media di Australia, News Corp Australia, untuk konten jurnalistik yang diambil dari media-media perusahaan tersebut.