JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang memperberat hukuman terpidana korupsi Anas Urbaningrum dengan mencabut hak politiknya, tidak serta merta mendapat respon positif di tengah publik.
Pasalnya, keputusan MA tersebut masih menjadi perdebatan pro kontra ditengah masyarakat.
Anggota Komisi III DPR RI dari FPPP Arsul Sani misalnya berpandangan bahwa pencabutan hak politik pelaku tindak pidana korupsi harus dilihat secara objektif.
"Ya namanya tindak pidana korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 itu ada 20 macam jenis, Nah, tidak bisa "di-gebyah uyah" semua orang yang dihukum karena tindak pidana korupsi terus dicabut hak politiknya," kata kepada TeropongSenayan di Jakarta, Selasa (9/6/2015).
Lebih lanjut Arsul mengatakan, untuk mencabut hak politik seseorang perlu kiranya mendorong adanya konsensus di tengah masyarakat.
"Kita mesti kembangkan kesepakatan sosial dan hukum mana-mana yang masuk jenis tindak pidana korupsi yang pantas terhukumnya dicabut hak politiknya," jelasnya.
"Kalau dia seorang bawahan disuruh antar uang suap kepada penyelenggara negara, padahal dia tidak tahu apa-apa dealnya, juga tidak tahu persis uang itu buat nyuap urusan apa, maka masak bawahan seperti ini yang jadi turut serta atau membantu sebagai penyuap terus dicabut hak politiknya."
Menurutnya, akan lebih tepat jika hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik dijatuhkan kepada para abdi negara yang melakukan kejahatan korupsi.
"Kalau penyelenggara negara yang terang-terangan minta disuap oleh pihak yang berkepentingan dan itu udah jadi kebiasaan pejabat tersebut ya silakan saja kalau pengadilan akan menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak politik. Yang jelas saya tidak menolak ada hukuman tambahan, tetapi harus selektif penjatuhannya," ungkapnya menandaskan. (iy)