JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah dilaksanakan selama hampir 20 tahun.
Pemberian otonomi khusus tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap hak asasi manusia, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain di Indonesia.
Demikian diungkapkan Ketua Tim Kunjungan Kerja Pansus DPR RI RUU tentang Perubahan Kedua UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Yan Permenas Mandenas saat menggelar pertemuan dengan Gubernur Papua (diwakili Sekda) di Jayapura, Senin (3/5/2021).
Pertemuan ini juga dihadiri Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), PANGDAM XVII/Cendrawasih Papua, DANLANTAMAL X Papua, DANLANUD Silas Papare, KABINDA Provinsi Papua, KAPOLDA Papua, KEJATI Papua, Ketua Pengadilan Negeri Papua, Kakanwil Kumham Papua, Para Bupati dan Walikota Se-Provinsi Papua, Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota Se-Provinsi Papua.
"Dana otonomi khusus juga telah banyak dikucurkan untuk mendukung pelaksanaannya. Hingga tahun 2021, total dana otsus dan dana tambahan infrastruktur yang dialokasikan untuk Papua sejak tahun 2002 sebesar Rp 100,96 triliun. Namun demikian, kemajuan Papua cukup lambat dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan provinsi lainnya," ungkap Yan Permenas dalam keterangan tertulis, Selasa, (4/5/2021).
Politisi Gerindra ini menambahkan tingkat buta huruf di Papua masih yang tertinggi yaitu sebesar 29 persen. Sementara tingkat partisipasi anak sekolah di Papua juga terendah yaitu 76,18 persen, sedangkan rata-rata angka partisipasi murni nasional 95,73 persen. Begitupula tingkat harapan hidup paling rendah juga ada di Papua (65 tahun).
Ia melanjutkan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua juga paling rendah yaitu 57,65 persen, sementara rata-rata nasional 69,53 persen. Tingkat kemiskinan paling tinggi juga ada di Papua yaitu 28,94 persen.
"Kondisi tersebut memunculkan ketidakpuasan dan dapat menimbulkan gejolak di Papua. Ada kekhawatiran kondisi tersebut dimanfaatkan oleh KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) atau pun kelompok separatis lainnya untuk merongrong NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)," tandas legislator asal Negeri Cenderawasih ini.
Lebih lanjut, dirinya juga menyoroti isu atau berita hoaks yang menjelek-jelekan Indonesia. Di mana Indonesia dianggap telah melanggar hak asasi manusia Papua dan tidak menaruh perhatian pada kesejahteraan rakyat Papua yang beredar di dunia internasional.
"Permasalahan ini perlu mendapat perhatian kita semua karena dapat mengancam stabilitas wilayah Papua sehingga pembangunan menjadi terhambat," tukasnya.
Mewakili Gubernur Papua, Sekretaris Daerah Papua Dance Yulian Flassy mengatakan Pemda Papua berharap Otonomi Khusus akan membawa kemajuan dan perkembangan masyarakat Papua yang lebih sejahtera. Sesuai arahan Presiden, perlu lompatan baru untuk akselerasi pembangunan dan mengajak seluruh elemen masyarakat Papua dalam proses pembangunan.
"Otonomi khusus yang sudah berjalan 20 tahun diharapkan mampu mendorong pembangunan infrastruktur yang memadai serta kemajuan sumberdaya manusia Orang Asli Papua (OAP) melalui pendidikan formal yang menjangkau seluruh pelosok Papua," jelas Dance.
Sementara itu, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengatakan salah satu permasalahannya adalah penyusunan RUU Otonomi Khusus Papua dilakukan secara sepihak oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan aspirasi Orang Asli Papua.
"Bahkan ada tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengamputasi kewenangan pemerintah daerah. Ada sekitar 24 kewenangan dari kesepakatan otonomi khusus yang belum dijalankan (diberikan) oleh pemerintah pusat," tukas Timotius.
Pihaknya menegaskan, perlunya dibuka ruang dialog antara pemerintah pusat dengan orang asli Papua dengan rekomendasi dari MRP.
Ia juga meminta rapat koordinasi bersama MRP/MRPB, DPRP/DPRPB dengan DPR RI sebelum melakukan perubahan RUU Otonomi Khusus. "Tidak perlu buru-buru dalam proses perubahan RUU karena menyangkut hajat hidup masyarakat Papua," tutupnya.
Tim Kunker Pansus DPR RI tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dipimpin Yan Permenas Mandenas (Gerindra) diikuti oleh Mohammad Idham Samawi, Darmadi Durianto, Masinton Pasaribu (PDI-Perjuangan), Lodewijk F. Paulus, Trifena M. Tinal (Golkar), Sulaeman L Hamzah (NasDem), Marthen Douw (PKB), Willem Wandik (Demokrat) dan Junaidi Auly (PKS).