JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Parta mengungkapkan, ketika ekspor menjadi andalan dimasa pandemi, justru terjadi kelangkaan container.
Hal tersebut disampaikan Parta begitu ia disapa dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Perdagangan (Mendag), Jumat (27/08/2021).
"Harga menjadi melambung tinggi sebagai contoh untuk kontainer dengan ukuran 40 feet, harga awal Rp125 juta menjadi Rp245 juta. Akibatnya banyak eksportir merugi. Harga yang tinggi menyebabkan buyer membatalkan maupun menunda pembelian," ungkap Politikus PDIP itu.
Selain soal tingginya harga kontainer, ungkap dia lagi, masih banyak kendala dan hambatan eksportir keluar negeri.
"Kendala global terkait dengan kenaikan harga/biaya pengiriman di Indonesia ke seluruh dunia, terutama negara tujuan Amerika dan Eropa. Kenaikannya 2-5 kali lipat, dari harga pengiriman sebelum pandemic," kata Legislator Dapil Bali I itu.
Tentu saja, menurutnya, kondisi semacam ini jadi dilema bagi para eksportir tanah air.
Dan pertanyaaannya, kata dia, ketika dihadapkan pada kondisi seperti ini, apakah ini di tanggung oleh penerima/eksportir.
"Ini tergantung dari eksportir jika sampai mengirim/menjual kenegara tujuan, ditanggung oleh eksportir. Akhirnya kan tidak jadi dikirim atau mengalami kerugian, dan dirubah kembali. Kalau misalnya buyer yang menanggung, buyer pasti menunda order/ pengiriman, karena biaya yang sangat tinggi," tandasnya.
Parta melihat, kondisi ini terjadi karena tidak adanya keseimbangan ekspor dan impor.
"Surplus, secara nasional ekspor lebih besar dari pada impor. Kontainer yang datang lebih sedikit, dari pada mengirim kontainer keluar. Dan terjadi kelangkaan kontainer, permintaan tinggi dan harga naik berlipat-lipat. Permintaan tinggi, penawaran tidak banyak dan harga naik," jelasnya.
Tak hanya itu, kata dia, kebanyakan importir ke Indonesia mengirim bahan baku, karena industry di Indonesia belum banyak beroperasi secara maksimal.
"Yang dikirim ke Indonesia yang bahan mentah dengan kontainer yang kecil/pendek sementara kita mengirim produk jadi dengan kontainer yang besar. Karena mekanisme pasar, tidak ada kesengajaan dari negara," ujarnya.
Dalam kondisi seperti ini, Parta berharap agar Pemerintah memberikan subsidi, supaya ekspor bergeliat atau berfikir bagaimana cara membuat kontainer di Indonesia agar kapal pelayaran bisa naik ke Asia, Eropa dan Amerika. Sementara kalau lewat udara belum dibuka.
Adapun kendala khusus Bali, kata dia, kalau untuk ekspor bergantung pada trasnportasi udara dan jalan satu-satunya melalui Ngurah Rai Airpot.
"Tapi dalam kondisi pandemi gini kan belum dibuka. Harapannya agar segera dibuka bandara Ngurah Rai. Sementara yang bisa dikirim adalah barang/kerajinan yang kecil-kecil (handycraft), juga ikan (fresh fist) selama ini kita titip dilambung pesawat (Airbush), Boeing/pesawat yang datang bagasinya kita titipkan barang ekspor Bali, karena sekarang tidak ada berate harus carter," ungkapnya.
Namun demikian, kata dia, jika ekspor dari Bali hanya mengandalkan tranportasi udara tidak sebanding dengan biaya pengeluaran yang dikeluarkan para eksportir.
"Pesawat dengan harga yang mahal, sementara muatan tidak cukup karena kapasitasnya.
Kalau ekspor Bali lewat darat kerajianan batu dll,
semua lewat Surabaya. Karena di bawa ke Surabaya rentan pecah, diangkut jalur laut karena kapal laut tidak ada. Diangkut lewat container dibawa jalur darat rentan pecah," terangnya.
Parta mendorong agar Pemerintah mencari jalan keluar yang relevan di tengah geliat ekspor dari pulau Dewata tapi masih terhambat daya dukung infrastruktur.
Jalan keluar yang bisa dilakukan, saran dia, Pemerintah dapat melakukan perluasan dan revitalisasi pelabuhan Benoa dan nantinya harus sekaligus merubah status pelabuhan Benoa khusus hanya untuk kegiatan ekspor-impor.
"Permendag 87 tahun
2005 intinya Bali tidak masuk dalam roadmap untuk kegiatan ekspor-impor, Maka saya berharap agar Permendag itu pdi tinjau agar pelabuhan Benoa Bali bisa ikut menjadi bagian Pelabuhan-pelabuhan tertentu,
untuk produk-produk tertentu sebagai pintu masuk," pungkasnya.