JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Pemerintah diminta untuk tidak terbuai dan berpuas diri dengan capaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
“Wajar Tanpa Pengecualian hanya menyoroti serapan anggaran dengan pertanggungjawaban administratif. Capaian ini belum bisa digunakan sebagai tolok ukur kinerja anggaran dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi," kata Anggota Banggar DPR RI Netty Prasetiyani Aher, Kamis (9/9/2021).
Netty begitu ia disapa menekankan, jika pemerintah tidak boleh terbuai apalagi merasa sudah berhasil karena opini WTP.
"Kunci keberhasilan kinerja program harus bisa diukur tingkat keluaran, dampak dan manfaatnya. WTP kurang bermakna dan tidaklah cukup jika pelaksanaan kegiatan di lapangan kacau-balau dan tidak memberikan dampak signifikan," tambah Netty.
Apalagi, kata Netty, dalam catatan BPK terdapat selisih alokasi biaya program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam APBN 2020 dan publikasi Kementerian Keuangan sebesar Rp146,69 Triliun.
Dalam APBN jumlahnya Rp841,89 triliun, berbeda dengan publikasi Kementerian Keuangan yang Rp695,2 triliun.
“Ini menunjukkan penggunaan anggaran yang kurang optimal, bisa dibilang asal-asalan. Seharusnya pemerintah dapat mendeteksi kekeliruan tersebut sebelum dilaporkan dalam publikasi pemerintah. Bukan hanya soal angka, tapi juga skema sumber pendanaan, penggunaan, maupun manfaat yang diterima oleh rakyat dari program tersebut," tambahnya.
Netty juga mengatakan bahwa Fraksi PKS DPR RI beberapa waktu lalu merupakan satu-satunya Fraksi yang mengajukan nota keberatan atau minderheids atas laporan pertanggungjawaban realisasi APBN 2020.
“Pemerintah harus menindaklanjuti 23 catatan kritis FPKS atas penggunaan APBN 2020," katanya.
Menurut Netty, FPKS menyoroti catatan BPK terkait upaya Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, diantaranya, kebijakan pelaporan biaya penanganan Covid-19 yang belum mencakup mekanisme pelaporan secara utuh
Menurut anggota Banggar DPR RI ini, "Data kegiatan atau pekerjaan pada Pemulihan Ekonomi Nasional tidak terkendali, sehingga terdapat nilai DIPA yang lebih tinggi dari nilai alokasi anggaran."
Selain itu, kata Netty, ditemukan adanya penggunaan akun khusus Covid-19 yang belum tertib, program dalam cluster perlindungan sosial belum mempertimbangkan akuntansi bantuan sosial serta pengendalian atas pelaporan realisasi PC-PEN BLT dana desa yang belum sepenuhnya memadai.