JAKARTA(TEROPONGSENAYAN)-Dalam pembahasan perubahan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengusulkan perubahan pada 15 pasal dalam UU KUP.
Dari 15 pasal yang diajukan, 7 pasal merupakan UU Pajak Penghasilan, 7 pasal dalam UU PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, 1 perubahan pasal dalam UU Cukai. Sri Mulyani juga menambah 1 pasal dalam pengenaan Pajak Karbon.
"Hal ini berkaitan dengan ketentuan umum dan tata cara perpajakan, kedua pajak penghasilan, ketiga pajak pertambahan nilai, keempat mengenai cukai, dan kelima mengenai pajak karbon," ujar Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Senin (13/9/2021).
Klaster Pertama
Untuk klaster pertama berkaitan dengan ketentuan umum dan tata cara perpajakan mengatur mengenai asistensi penagihan pajak global. Terutama pemberian bantuan penagihan aktif pada negara mitra, atau permintaan bantuan penagihan pajak kepada negara mitra yang akan dilakukan secara resiprokal. Usulan ini tertuang dalam pasal 20a.
"Artinya kita bisa membantu negara lain yang memiliki wajib pajak di Indonesia atau kita dapat bantuan dari negara lain untuk menagih kewajiban pajak dari wajib pajak kita yang berlokasi di negara lain," jelasnya.
Di pasal 27 Sri Mulyani membacakan, aturan kesetaraan pengenaan sanksi dalam upaya hukum melalui bentuk pembatalan sanksi hingga 100 persen oleh pemerintah apabila putusan Mahkamah Agung (MA) atas sengketa pajak dimenangkan oleh wajib pajak. Namun juga pengenaan sanksi 100 persen kepada wajib pajak bila pemerintah yang dimenangkan.
"Dalam klaster ini diatur pula mutual agreement procedure atau MAP antara otoritas pajak Indonesia dan negara lain tetap dapat ditindaklanjuti walau terdapat putusan banding dan peninjauan kembali sepanjang objek yang diajukan MAP tidak diajukan banding atau PK oleh WP, pasal 27c," kata dia.
Masih di klaster pertama, Sri Mulyani juga mengusulkan penunjukan pihak lain untuk memungut PPh, PPN, dan pajak transaksi elektronik atau PTE. Pihak lain yang dimaksud misalnya penyedia layanan transaksi elektronik. Ini tertuang dalam pasal 32a.
Kemudian menyangkut program peningkatan kepatuhan pajak. Program ini mengatur pemberian kesempatan pada wajib pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran pajak penghasilan.
"Berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak dan pembayaran pajak penghasilan berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan pajak penghasilan orang pribadi pada tahun pajak 2019 ini termaktub pasal 37b hingga pasal 37i," jelasnya.
Klaster Kedua
Klaster kedua berkaitan dengan pajak penghasilan, pengaturan kembali natura, dan perubahan tarif dari pajak penghasilan orang pribadi sebesar 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 5 miliar per tahun. Dia mengatakan, ini untuk mencerminkan keadilan, yang tertuang di pasal 17.
"Berikutnya pengaturan terkait instrumen pencegahan penghindaran pajak dengan memberikan landasan bagi pemerintah untuk melakukan koreksi yang diindikasikan dapat kurangi menghindari atau tunda bayar pajak yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan UU di bidang perpajakan di dalam pasal 18," tuturnya.
Kemudian di pasal 31 e diatur penyesuaian insentif wajib pajak untuk UMKM dengan omzet maksimal Rp 50 miliar. Hal lain yang diatur, kata dia, yakni penerapan alternatif minimum tax atau pengenaan tarif pajak tertentu dari omzet, terutama bagi wajib pajak badan yang menyatakan rugi namun tetap beroperasi atau melakukan ekspansi. Ini tertuang di pasal 31 f.
Klaster Ketiga
Menteri Keuangan Sri Mulyani berbincang dengan Kepala Direktorat Jenderal Pajak Suryo Utomo di Kantor Dirjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/3).
Klaster ketiga yakni berkaitan dengan pajak pertambahan nilai. Ini diikuti dengan pengurangan atas pengecualian dan fasilitas PPN agar lebih mencerminkan keadilan.
"Pasal 4a dan pasal 16b kebijakan ini akan dilaksanakan melalui seluruh barang dan jasa dikenai PPN kecuali yang sudah menjadi objek PDRD seperti restoran," jelasnya.
Terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dikenakan PPN dengan tarif yang lebih rendah dari tarif normal. Bahkan, Sri Mulyani memungkinkan tak dikenakan PPN. Sementara masyarakat tak mampu bisa diberikan kompensasi dengan diberikan subsidi.
Dalam pasal 7 Sri Mulyani juga memasukkan usulan perubahan kebijakan pengenaan multi tarif PPN tarif umum dinaikan dari 10 persen menjadi 12 persen.
Klaster Keempat
Di klaster ini Sri Mulyani mengajukan kebijakan pajak menyangkut lingkungan. Misalnya cukai plastik.
"Penambahan objek cukai berupa produk plastik pada pasal 4," ujarnya.
Juga mengusulkan pasal baru yakni terkait pajak karbon. Dia mengusulkan pajak karbon Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
"Pengenaan pajak baru berupa pajak karbon lingkungan yaitu pengenaan pajak karbon untuk memulihkan lingkungan," tutupnya.