Berita
Oleh Bachtiar pada hari Jumat, 08 Okt 2021 - 19:47:34 WIB
Bagikan Berita ini :

Aleg Gerindra: Masalah yang Dihadapi Negara Ini Sering Shortfall

tscom_news_photo_1633697254.jpeg
Heri Gunawan Politikus Partai Gerindra (Sumber foto : dpr.go.id)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai, sektor perpajakan membutuhkan harmonisasi regulasi. Hal ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan, agar penerimaan menjadi optimal.

Ia pun menegaskan, kunci sukses pembangunan nasional yang mandiri dan berdikari adalah terpenuhinya penerimaan negara sebagai modal pembangunan yang berkesinambungan.

“Penerimaan perpajakan telah menjadi penerimaan negara terbesar sejak 1992 dengan kontribusi mencapai 47,4 persen dan meningkat pada 2020 menjadi sebesar 65,1 persen. Namun, kontribusi tersebut belum cukup menutup pembiayaan pembangunan yang kian membesar," papar politikus Gerindra itu, Jumat (8/10/2021).

Ia mengakui, masalah yang dihadapi negara ini adalah sering terjadi shortfall, yaitu realisasi perpajakan lebih rendah daripada target perpajakan yang ditetapkan dalam APBN.

Ia mengungkaokan, jika sudah 12 tahun berturut-turut terjadi shortfall pajak. Terakhir kali, ungkap Hergun, penerimaan pajak mencapai target terjadi pada 2008 yang mencapai 106,7 persen atau terealisasi Rp571 triliun dari target Rp535 triliun dalam APBN.

"Dengan realisasi ini maka tercatat surplus sebesar Rp36 triliun. Namun, sejak 2009 hingga 2020, penerimaan pajak selalu meleset dari target. Selain shortfall pajak, angka rasio perpajakan Indonesia sejak 2010 hingga 2020 juga cenderung turun, dari 11,3 persen pada 2010 menjadi 9,8 persen pada 2019, dan pada 2020 turun lagi menjadi 8,3 persen," urai Kapoksi Gerindra di Komisi XI itu.

Dia menambahkan, rasio perpajakan Indonesia itu jauh di bawah rata-rata negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 34,3 persen.

OECD sendiri, sambung Hergun, mensinyalir rendahnya rasio perpajakan Indonesia disebabkan kepatuhan pajak yang buruk, insentif dan pengurangan tarif yang meluas, dan ditambah kecilnya orang pribadi yang membayar pajak penghasilan (PPh).

"Terjadinya pandemi Covid-19 makin memperparah kondisi keuangan negara. Defisit APBN yang tadinya dibatasi maksimal 3 persen diberi kelonggaran bisa melebihi di atas 3 persen selama 3 tahun, dari 2020 hingga 2022. Pelebaran defisit APBN secara otomatis menambah akumulasi utang," tukas pria asal Sukabumi, Jawa Barat tersebut

tag: #apbn  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement