JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Gejolak harga sejumlah komoditas pangan yang terjadi hampir bersamaan belakangan ini, mengingatkan kembali akan ketahanan pangan kita yang rapuh karena tergantung impor. Klaim soal swasembada pangan yang kerap digembor-gemborkan Kementeria Pertanian pun dipertanyakan sejumlah pihak. Produksi pangan RI dinilai belum bisa diharapkan.
Anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo, kepada wartawan, Senin (7/3) mengatakan, parlemen sejatinya sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah khususnya Kementan soal pentingnya produksi pangan untuk ketahanan pangan nasional. Bahkan, sebelum datangnya pandemi dan konflik Rusia - Ukraina yang membuat harga komoditas pangan terdongkrak.
"Inikan selalu menjadi satu kontroversi. Kalau kita mengatakan produksi pangan kita baik kenapa Indonesia mesti mengimpor. ini yang harus dievaluasi. jangan kita bilang surplus, tetapi barangnya tidak ada. Kalau memang ada surplus, barangnya ada dimana? Ayo kita cek dan lihat secara bersama-sama. kita tidak cukup hanya dengan statemen," tegasnya.
Melihat hal ini, ia pun mempertanyakan kinerja Kementan yang seharusnya fokus mengamankan produksi pangan.
"Kalau kita tidak menyiapkan diri sebaik-baiknya maka akan muncul dua krisis besar di dunia ini yaitu krisis energi dan juga krisis pangan," ujarnya.
Ia melihat, produksi pangan Indonesia belum bisa diharapkan. Diakui, untuk mencapai swasembada pengan memang bukan perkara mudah. Tapi, Indonesia harus mempersiapkan dengan maksimal. Langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah, kata Firman, adalah menginventaris seluruh lahan yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produksi pangan.
"Ukurannya sangat sederhana. Kalau 2019 yang lalu, anggaran (Kementan) kan sekitar Rp6 triliun, sekarang sudah puluhan triliun. Dengan anggaran puluhan triliun itu sangat mudah mengukurnya. Kementan itu outputnya produksi pangan, kalau sampai sekarang itu kita masih impor, berarti itu kegagalan, ada miss management," tandasnya.
Polisi Partai Golkar ini merujuk pernyataan PBB yang sempat merilis soal pentingnya mengantisipasi kebutuhan pangan, sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat signifikan. Negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia pun diminta bersiap karena diyakini akan lebih merasakan dampaknya.
"Kita tidak boleh bergantung pada negara lain karena impor," ucapnya.
Sekadar Retorika
Senada, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menuturkan, gejolak kenaikan harga sejumlah komoditas yang terjadi belakangan, lebih banyak terjadi akibat faktor dari perdagangan komoditas secara global. Kenaikan harga makin terasa mengingat untuk komoditas pangan, Indonesia sangat mengandalkan pasokan impor.
Ia melihat, upaya peningkatan produksi dalam negeri sendiri terutama oleh Kementerian Pertanian, baru sebatas retorika belaka.
“Memang ada contohnya jika Kementerian Pertanian pernah berhasil? Segala macam program, hanya sekadar program semata. Kebijakan (wajib tanam) dan target swasembada bawang putih saja, gak jelas lagi hasilnya,” kata Dwi.
Kerentanan akan ketahanan pangan makin membesar, kata Dwi, dengan sejumlah peristiwa yang tak terprediksi dan di luar kemampuan pemerintah untuk mengontrolnya. Ia mencontohkan hal ini terjadi pada komoditas kedelai yang harganya tetiba melonjak karena turunnya produksi dunia. Ia menukas, dengan kurangnya produksi, maka harga kedelai, harga minyak nabati, seperti minyak sawit, juga ikut terkerek naik.
“Gandum, bawang putih hampir 100% impor, kedelai 97% impor, gula 70% impor, daging lebih dari 50% impor. Ketika harga dunia naik setelah pandemi, pasti kita akan kena imbas,” ucap Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) tersebut.
Idealnya, kata Dwi, kebutuhan pangan dalam negeri bisa dipenuhi oleh petani dalam negeri. Namun, lanjutnya, hal ini sangat sulit terjadi karena tingginya disparitas harga pangan produsi dalam negeri dengan produk impor.
Ketidakberhasilan peningkatan produksi sendiri, kata Dwi, bisa dilihat dari data impor 8 komoditas pangan utama yang terus meningkat. Ia menyebut, pada tahu 2008, ada 8 juta ton komoditas pangan yang diimpor. Sepuluh tahun kemudian, volumenya melonjak mencapai 27,6 juta ton.
Sedikit menurun di tahun 2019 menjadi 25 juta ton, kemudian kembali meningkat menjadi 26 juta ton di 2020 dan naik lagi menjadi 27,7 juta ton di 2021. Selain meningkatnya permintaan, kenaikan impor pangan ini terjadi karena adanya disparitas harga komoditas pangan lokal dan impor.
Lebih murahnya harga komoditas pangan dengan sejumlah insentif tarifnya, lanjut Dwi, membuat petani pun lama kelamaan enggan berproduksi.
Akibat rendahnya produksi pangan, Peneliti INDEF Rusli Abdullah menyatakan, importasi pun mau tak mau jadi andalan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus meningkat. Sayangnya, importasi sendiri, menurut Rusli kerap dilakulan tanpa timing yang tepat.
"Selama pandemi tidak ada timeline yang benar soal impor, justru dilakukan saat panen (dalam negeri) berlangsung," ujarnya.
Menurutnya, untuk melakukan impor dengan tepat, Kementan sudah sehatusnya menyediakan data yang valid. Ia menegaskan, data yang valid dibutuhkan agar ketika impor dilakukan tidak menggempur harga petani.
"Kalau kita butuhnya 40, impornya 60, ya kasihan petaninya," kata Rusli.
Ia mencontohkan, pada tahun 2018, pemerintaj sudah mengunakan citra satelit untuk menghitung luasa lahan padi. Hal ini menghasilkan hitungan yang lebih akurat terkait lahan dan produksi beras. "Sekarang beras aman.Tak ada kisruh kenaikan harga sejak 2018. Karena data yang valid dikeluarkan oleh BPS. Jadi tak bisa main-main lagi sekarang," imbuhnya.
Khusus soal daging, ia melihat Kementan juga belum fokus untuk mengurusi persoalan kekurangan pasokan yang harus ditutup oleh impor.
"Kenapa selama ini pemerintah tidak membangun peternakan terpusat yang menyediakan daging? Bisa tanyakan ke kementan, saya melihatnya ini belum menjadi prioritas, karena fokus tetap di beras, penyediaan hewan anggarannya tidak ada," ucapnya.