JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Kalangan DPR sangat prihatin dengan produksi garam nasional, yang tak memenuhi target. Bahkan situasinya sangat paradoks, karena berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi garam nasional hanya sebesar 1,09 juta ton pada 2021.
“Jumlah tersebut turun 20,44% dari tahun sebelumnya, 2020 yang sebesar 1,37 ton,” kata Anggota Komisi VI DPR, I Nyoman Parta dalam Rapat Dengar Pendapat dengan PT. Barata Indonesia, PT Garam, PT Perikanan Indonesia dan PT Berdikari, terkait kinerja perusahaan, Senin, (6/9/2022).
Padahal, kata Parta, Indonesia dikenal sebagai negara maritim di mana wilayah perairannya lebih luas dari daratan.
Tercatat Indonesia berada di urutan ketiga negara dengan garis pantai terpanjang. Indonesia memiliki garis pantai yang membentang sepanjang 54.716 kilometer (km).
Posisi Indonesia hanya berada di bawah Kanada dan Norwegia dengan garis pantai masing-masing sepanjang 202.080 km dan 44.087 km.
Dengan garis pantai yang besar tersebut, maka Indonesia dipandang memiliki lahan potensial yang besar untuk membuka tambak garam.
Yang miris itu, kata Parta-sapaan akrabnya, produksi garam nasional hanya mencapai 61,9% dari target nasional yang ditetapkan pada 2021. Sepanjang 2021, KKP menargetkan produksi garam nasional sebanyak 2,1 juta ton.
“Adapun, produksi garam nasional pada 2021 tak bisa mencukupi kebutuhan garam nasional. Karenanya, pemerintah mengimpor garam hingga 2,83 juta ton pada tahun lalu,” ujar anggota Fraksi PDIP.
Legislator dari Pulau Dewata ini mengakui ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat produksi garam nasional. Misalnya, musim kemarau basah yang membuat produksi garam rakyat tidak optimal.
“Kemudian, minimnya pemanfaatan teknologi yang belum merata, ditambah lagi ongkos produksi yang mahal dan harga jual garam sering tak menentu,” paparnya lagi.
Selain faktor-faktor di atas, lanjut Parta, terdapat permasalah lain yang kerap luput yaitu produksi garam petani kecil, malah sering terhambat perihal standarisasi yang kerap disebut kurang.
“Seperti soal kandungan NaCl yang rendah, artinya tidak bisa memenuhi standar untuk kebutuhan infustri karena NaCL garam rakyat hanya 92%.”
Sedangkan, sambung Parta lagi, standar yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian dengan syarat Perindustrian sebesar 97%- 99% (hampir 100%). Jadi standarisasi yang dibuat Kemenperin terlalu tinggi.
“Sehingga menyusahkan garam-garam yang diprodukasi oleh rakyat dan akhirnya memberikan karpet merah untuk garam import untuk kebutuhan industri,” terangnya.
Padahal, ujar Parta, garam hasil produksi organik petani rakyat dari pantai Indonesia itu tidak hanya memiliki kandungan NaCl-nya saja, namun juga kaya akan kandungan mineral yang sangat dibutuhkan manusia. Sehingga masuk sebagai kategori “Garam Sehat”.
Oleh karena itu, anak buah Megawati ini meminta agar PT.Garam selaku BUMN harus selalu memonitoring dan mengantisipasi terkait masuknya garam impor ke rumah tangga Indonesia. “Padahal jelas-jelas bertentangan dengan izin impor (HS-Code 25.01) yang menyatakan bahwa garam impor hanya digunakan untuk kebutuhan industri,” paparnya.
Namun ternyata, kata Parta, di lapangan ada indikasi praktek manipulasi dimana prosesor menggunakan mesin yang sama untuk memproses garam impor dan lokal sehingga setelah diproses tidak dapat dibedakan.
“BUMN PT.Garam harus mampu berinovasi bagaimana agar swasembada garam bisa terealisasi dengan mengampu tambak-tambak milik rakyat dengan konsep kemitraan.”
Dikatakan Parta, PT.Garam harus berani mengambil posisi untuk meningkatkan kualitas garam rakyat agar bisa masuk pasar industri. Pemerintah harus segera melakukan langkah afirmatif dan memberikan dukungan tehnologi.
“Hal ini karena garam, bukan hanya untuk kosumsi saja tapi garam itu turunannya sangat banyak manfaatnya. Misalnya, untuk kebutuhan kosmetik, farmasi, deterjen, makanan dan minuman, pun untuk industri manufaktur lainnya,” imbuhnya.