Berita
Oleh Sahlan Ake pada hari Senin, 10 Jul 2023 - 13:14:34 WIB
Bagikan Berita ini :

Puji Polisi Solo dan Jembrana Terapkan UU TPKS di Kasus Kekerasan Seksual, DPR: Patut Dicontoh

tscom_news_photo_1688969674.jpeg
Didik Mukrianto (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Komisi III DPR RI menyoroti kasus kekerasan seksual yang tak kunjung surut. Pemerintah pun diingatkan mengenai tindakan pemerintah dalam melakukan pemberantasan kasus kekerasan seksual, termasuk dengan segera menerbitkan aturan turunan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sehingga beleid ini dapat diimplementasikan dengan efektif.

“Kita tidak bisa menutup mata kasus kekerasan seksual di Indonesia saat ini semakin marak, dan ini harus menjadi keprihatinan bersama,” kata Anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto, Senin (10/7/2023).

Didik pun menyoroti kasus kekerasan seksual yang melibatkan warga Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di mana seorang suami menjual istrinya sendiri ke pria hidung belang dengan dalih kebutuhan ekonomi. Kasus ini ditangani oleh Polresta Solo karena penangkapan terjadi di daerah tersebut.

“Kasus ini menjadi bagian dari fenomena gunung es tindakan kekerasan seksual yang telah menjadi momok di Tanah Air. Sangat miris sekali dan kita ketahui bersama kasus seperti ini sebenarnya banyak ditemukan terjadi di Indonesia,” ucapnya.

Untuk itu, Didik mengapresiasi Polresta Solo yang menjerat pelaku dengan UU TPKS dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman 12-15 tahun penjara.

"Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk ekspolitasi seksual juga menjadi salah satu obyek yang diatur UU TPKS. Bahkan lebih jauh untuk kasus-kasus tertentu bisa masuk dalam Tindak Pidana Human Traficking dan juga Predicate Crime TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)," jelas Didik.

Selain di Solo, penegak hukum juga menerapkan UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual di Jembarana, Bali. Dua pria paruh baya diadili karena melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis ABG berkebutuhan khusus.

Langkah polisi dalam 2 kasus itu pun dinilai merupakan langkah maju pihak penegak hukum. Sebab, kata Didik, di lapangan masih banyak ditemukan penolakan dari penyidik kepolisian untuk menggunakan UU TPKS dengan alasan belum ada aturan teknis atau pelaksananya.

“Penanganan kasus oleh Polresta Solo dan Polres Jembarana ini adalah langkah maju dari pihak kepolisian yang harus diikuti penyidik-penyidik lainnya dalam kasus kekerasan seksual,” tegasnya.

Pada kasus di Solo, pelaku dikenakan pasal 12 UU TPKS yang menyebut: Setiap Orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual.

Kemudian di Jembarana, salah satu pelaku dikenakan pasal-pasal dalam UU TPKS terkait perkosaan dengan ancaman hukuman paling lama 12 tahun. Namun satu pelaku lainnya disangkakan telah melanggar UU Perlindungan Anak karena masih ada kekerabatan dengan korban.

“Meski berada di daerah, Polresta Solo dan Polres Jembrana telah melakukan terobosan dan patut dicontoh. Khususnya oleh penyidik-penyidik kepolisian yang ada di kota-kota besar,” ujar Didik.

Menurutnya, langkah kedua polres tersebut menjadi angin segar di tengah maraknya kasus kekerasan seksual. Didik mengingatkan kembali kepada para penegak hukum, bahwa UU TPKS sudah bisa digunakan merujuk perintah Kapolri melalui Surat Telegram nomor ST/1292/VI/RES.1.24/2022 yang meminta semua Kapolda di Indonesia memerintahkan semua institusi kepolisian di semua wilayah untuk menegakkan UU TPKS.

“Mestinya Polisi tidak perlu ragu untuk menerapkan UU TPKS dalam kasus-kasus kekerasan seksual walaupun belum ada aturan teknis atau pelaksananya, karena pengaturan dalam UU TPKS terang dan operasional” sebutnya.

“Jika selama ini masih banyak ditemukan keengganan penyidik kepolisian menerapkan UU TPKS dengan alasan belum ada juklak dan juknis, maka saatnya Polisi bertindak lebih progresif. Jangan menunggu semakin banyaknya korban berjatuhan,” lanjut Didik.

Legislator dari Dapil Jawa Timur IX itu pun menyayangkan masih adanya penanganan kasus kekerasan seksual yang berlarut-larut. Didik memberi contoh soal kasus dugaan pencabulan santri pria yang dilakukan oknum pimpinan pesantren di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar) di mana dalam kasus tersebut, penanganan kasus oleh kepolisian dianggap sejumlah kalangan berjalan lamban.

“Jangan lupa, dalam UU TPKS penyidik kepolisian harus menerima pengaduan perkara kekerasan seksual. Polisi tidak boleh menolak kasus kekerasan seksual dengan alasan apapun. Jadi kasusnya harus segera diusut tuntas sekalipun melibatkan tokoh ternama. Tidak boleh tebang pilih,” ucapnya.

Didik juga menyoroti kurangnya sosialisasi Pemerintah sehingga banyak korban yang melaporkan kasus kekerasan seksual tanpa tuduhan pelanggaran terhadap UU TPKS. Seperti dalam kasus predator seksual di Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, di mana pelaku pria berusia 47 tahun telah melakukan pencabulan terhadap dua anak di bawah umur berusia 1,5 tahun dan 9 tahun.

Dalam kasus ini, perwakilan korban hanya melaporkan pelaku telah melanggar UU Perlindungan Anak. Korban merupakan anak tiri dan keponakan pelaku. Padahal Pasal 4 ayat (1) UU TPKS telah mengatur soal pencabulan terhadap anak.

"Harus ada perubahan paradigma dalam menerapkan UU TPKS. Tanpa perubahan paradigma berpikir dan kekuatan intensi sosial dalam memberi perlindungan kepada seluruh warga negara, kehadiran UU TPKS akan melemah karena ketidakmampuan sejumlah elemen dalam memaknai esensi perlindungan," terang Didik.

Diingatkannya, UU TPKS dilahirkan untuk meningkatkan awareness masyarakat kepada korban kekerasan seksual dengan harapan bisa mengakhiri budaya kekerasan seksual yang muncul mulai dari lingkup rumah tangga. Selain itu, menurut Didik, juga demi mewujudkan kesetaraan gender serta zero tolerance terhadap kekerasan seksual.

“Jadi penanganan kasus kekerasan belum sepenuhnya bergantung pada regulasi ini. Bukan hanya karena belum ada aturan turunannya, tapi juga lantaran kurangnya sosialisasi sehingga masyarakat dan aparat penegak hukum seringkali salah persepsi terkait kehadiran UU TPKS,” urainya.

Didik mengatakan, sebenarnya sudah ada banyak kemauan politik (political will) Pemerintah dalam pemberantasan kasus kekerasan seksual di tanah air. Dalam hal ini, political will dari Pemerintah dapat dimaknai dengan sejauh mana komitmen dukungan untuk mencari solusi kebijakan terhadap masalah kekerasan seksual.

“Political will-nya relatif banyak. Instrumen hukumnya juga sudah disempurnakan melalui lahirnya UU TPKS yang diperjuangkan bersama DPR. Tinggal Action will-nya (tindakan terhadap kekerasan seksual) yang harus diperkuat mulai preventifnya, penindakannya dan perlindungan hukumnya,” papar Didik.

Hingga saat ini aturan teknis UU TPKS belum juga diterbitkan Pemerintah meski sudah mendapat banyak desakan dari berbagai kalangan. Dari UU TPKS, Pemerintah manargetkan menerbitkan peraturan pelaksana, yang terdiri dari 3 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres).

“Walaupun sudah diterbitkan lebih dari satu tahun, tapi faktanya belum bisa efektif implementasinya. Salah satunya disebabkan karena aturan teknisnya belum terbit. Padahal UU TPKS bisa menjadi pedomanan penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan lebih komprehensif karena berpihak pada korban,” jelas Didik.

Hal ini lantaran UU TPKS menjangkau penanganan kasus kekerasan seksual secara menyeluruh yang sebelumnya tersebar dalam berbagai peraturan. Seperti UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU TPPO, bahkan hingga UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

"Semua pengaturan terkait kasus tindak pidana kekerasan seksual yang tersebar dalam sejumlah UU tersebut juga diatur dalam UU TPKS. Namun sayang belum bisa diimplementasikan secara efektif karena belum ada aturan teknis atau pelaksananya,” ujar Didik.

Di sisi lain, belum adanya pemahaman menyeluruh dan utuh terkait substansi UU TPKS juga dianggap membawa konsekuensi dalam penerapan aspek perlindungan yang diamanatkan UU TPKS. Menurut Didik, salah satunya terkait persoalan kekerasan seksual dalam rumah tangga, apapun bentuknya itu.

“Pemahaman tersebut juga harus sampai pada tataran kesepahaman antara aparat penegak hukum, kerja sama kelompok kerja perempuan anak terpadu, dan dengan aparat penegak hukum yang berperspektif HAM dan gender,” katanya.

“UU TPKS penting sekali diterapkan karena bisa kena semua mulai dari pencegahan, penindakan, sanksi dan perlindungan,” lanjut Didik.

Selain penegakan hukum, UU TPKS juga mengatur hak perlindungan hingga pemulihan korban yang meliputi hak atas penanganan terhadap kasusnya. Didik berharap, pihak kepolisian memiliki peran dalam mempercepat proses penyelidikan dan penyidikan pada setiap kasus kekerasan seksual.

"Korban memiliki hak atas penanganan misalnya mendapat dokumen hasil penanganan, layanan hukum, penguatan psikologis, perawatan medis, hingga hak untuk menghapus konten seksual berbasis elektronik yang menyangkut korban," urainya.

Selain itu, korban kekerasan seksual di UU TPKS juga mendapat hak perlindungan meliputi kerahasiaan identitas serta perlindungan dari tindakan merendahkan yang dilakukan oleh aparat yang menangani kasus. Kemudian perlindungan atas kehilangan pekerjaan, mutasi, pendidikan, hingga akses politik.

"Sementara hak pemulihan meliputi, rehabilitasi medis dan mental, restitusi dari pelaku atau kompensasi dari negara, hingga reintegrasi sosial. Pemulihan itu didapat korban mulai proses hingga setelah proses peradilan," sebut Didik.

Oleh karenanya, DPR mengajak semua pihak untuk berkontribusi membantu pencegahan tindak kekerasan seksual serta mengawal kasus-kasunya. Dengan begitu, menurut Didik, setidaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat diminimalisir.

"Pengawasan dan partisipasi dari masyarakat harus diperkuat. Melihat korban kasus kekerasa seksual terus berjatuhan, selain penindakan, Pemerintah juga harus ekstra efforts untuk melakukan pencegahan,” ungkapnya.

“Kita harus mengingat lahirnya UU TPKS tidaklah mudah. Perlu waktu lama dengan banyak peluh dan dinamika yang terjadi. Jangan mengkhianati perjuangan kelahiran UU TPKS, karena ini demi kepentingan semua warga negara,” pungkas Didik.

tag: #didik-mukrianto  #partai-demokrat  #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement