Opini
Oleh Uchok Sky Khadafi Direktur Eksekutif Center for Budget Analisys (CBA), Aktivis 98 pada hari Selasa, 09 Jul 2024 - 17:13:07 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengukur Dampak Kehadiran Starlink dengan Efek Peretasan PDN

tscom_news_photo_1720519987.jpeg
Uchok Sky Khadafi Direktur Eksekutif CBA (Sumber foto : Istimewa)

Dalam rentang tahun 2024, ada sejumlah fenomena yang berhasil menyedot perhatian publik tanah air. Pertama, publik dikagetkan dengan sikap pemerintah yang memberikan "karpet merah" kepada perusahaan teknologi berbasis satelit milik Elon Musk yakni Starlink untuk beroperasi di negeri berjuluk potongan surga yang jatuh ke bumi ini.

Sontak publik pun riuh atas kehadiran Starlink. Bukan tanpa sebab keriuhan itu terjadi. Pertama, nilai investasi Starlink bisa dibilang sangat kecil (hanya Rp30 milyar) jauh jika dibandingkan dengan nilai keseluruhan investasi industri Telco tanah air yang diperkirakan mencapai Rp3.000 T. Kedua, Starlink disebut-sebut tak memiliki kantor perwakilan resmi di Indonesia.

Padahal, kantor resmi diperlukan sebagai bukti bahwa sebuah perusahaan asing yang akan berinvestasi di Indonesia taat dan patuh pada regulasi yang ada (regulasi ketenagakerjaan, pajak dan lainnya). Kontribusinya harus konkret.

Fenomena kedua yang juga tak kalah menariknya di mata publik yaitu adanya aksi peretasan yang dilakukan hacker yang menyasar situs-situs milik pemerintah. Setidaknya, atas kejadian ini sejumlah situs milik pemerintah mengalami down cukup serius bahkan ada sejumlah layanan publik yang lumpuh saat awal serangan. Misal situs milik imigrasi.

Tentu saja, dua fenomena tersebut memunculkan serangkaian pertanyaan (istilah lain dari keraguan) di tengah publik akan sikap, tanggungjawab dan kesiapan pemerintah selaku penyelenggara negara. Sedikit merujuk pada konstitusi terkait diadakannya suatu pemerintahan yaitu untuk mencapai keadilan, ketertiban, dan perwujudan nilai ideal seperti kemerdekaan, kebebasan, kesejahteraan, serta kemakmuran bersama.

Mari kita kupas satu persatu soal tujuan diadakannya suatu pemerintahan sebagaimana diamanatkan konstitusi. Pertama soal aspek keadilan. Dalam konteks misalnya investasi yang digelontorkan Starlink dengan investasi yang digelontorkan industri Telco lokal selama ini jelas sangat jomplang. Kejomplangan itu bisa dilihat secara gamblang dari nilai investasi yang keduanya tanamkan (Rp30 T vs Rp3.000 T).

Jika melihat perbandingan nilai investasi tersebut, rasanya aspek keadilan yang diamanatkan konstitusi kepada pemerintah bisa dibilang masih jauh dari kata terpenuhi. Entah teori keadilan mana yang diadopsi pemerintah apakah teori keadilan Mazhab utilitarian (salah satu pencetusnya yaitu Jhon Stuart Mill) atau teori keadilan ala John Rawls (distributif)? Silahkan pembaca bandingkan ya dua teori keadilan tersebut. Mazhab mana yang kini tengah diadopsi pemerintah?

Kedua, soal aspek kesejahteraan. Bagaimana cara menghitung angka Rp30 milyar bisa memberikan dampak kesejahteraan kepada rakyat Indonesia? Rasanya kalkulator pun tak akan sanggup cara membagi nilai investasi sebesar itu bisa mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat, dipastikan kalkulator bakal error ketika disuruh menghitung itu. Kalau Rp3.000 T mungkin masih bisa dijabarkan cara pembagian atau distribusinya terhadap kesejahteraan.


Mengukur Dampak Peretasan PDN dan Kehadiran Starlink

Sekilas di atas digambarkan bagaimana dua fenomena tersebut (peretasan PDN dan Kehadiran Starlink) secara garis besar keduanya sama-sama menimbulkan efek negatif bahkan gaduh di ruang publik (publik riuh, ragu, sinis atas dua fenomena itu).

Setidaknya ada sejumlah dampak yang secara tak kasat mata bisa dilihat publik atas dua fenomena tersebut.

Peretasan PDN misalnya, selain berdampak pada sejumlah layanan publik juga berdampak pada kredibilitas dan kapabilitas pemerintah selaku penyelenggara (khususnya di bidang layanan publik berbasis digital). Publik meragukan kredibilitas dan kapabilitas pemerintah dalam hal ini Kominfo termasuk Telkom di dalamnya dalam menjaga privasi data rakyatnya.

Adapun dampak kehadiran Starlink (meskipun belum ada survei atau penelitian terkait hal ini setidaknya publik awam pun bisa menghitungnya secara mudah manfaat dan mudharat dibalik kehadiran Starlink).

Dalam analisis penulis, kehadiran Starlink dampaknya justru lebih dahsyat ketimbang peretasan PDN yang baru-baru ini terjadi. Dampak peretasan PDN mungkin bila diukur dari sisi nominal itu relatif kecil di mana sang peretas hanya meminta seratusan milyar dan biaya maintenance PDN dari negara yang kurang lebih hanya Rp1 T.

Peretas atau hacker dengan Starlink keduanya jika dicermati sama-sama meminta kepada rakyat ini. Hanya saja perbedaannya hacker meminta dengan cara ilegal sementara Starlink melalui jalur legal atas nama investasi. Bila hacker meminta dalam angka seratusan milyar, bayangkan Starlink yang meminta rakyat Indonesia jauh lebih besar nominalnya nantinya (bisa triliunan estimasi angkanya) melalui skema direct to cell, meski baru rencana mereka meminta agar Starlink bisa direct to cell kepada konsumen dalam hal ini rakyat Indonesia.

Bayangkan berapa nilai atau potensi duit rakyat Indonesia bakal disedot Starlink jika skema direct to cell dimuluskan. Semoga saja tidak.

Sebelum mengakhiri tulisan ini ijinkan saya memberikan analisis khusus terkait kehadiran Starlink di Indonesia


A. Dampak Ekonomi

Kehadiran Starlink jelas akan menggerus potensi penerimaan pajak dari industri Telco secara keseluruhan. Berdasarkan catatan penulis, kontribusi pajak dari industri Telco kepada negara di 2013 saja mencapai Rp11,5 triliun sedangkan untuk tahun 2024 sekitar di atas Rp.15 T. Bayangkan potensi penerimaan negara dari industri Telco sebesar itu berpotensi akan terkontraksi. Pasalnya, kegiatan bisnis industri Telco jelas akan terkoreksi karena sumber-sumber pendapatan mereka bisa tergerus jika kompetitor dalam hal ini Starlink diberikan keleluasaan untuk bermain di lapangan yang sama.

Jika pendapatan berkurang otomatis kontribusi pajak dari industri Telco kepada negara pun akan berkurang (berpotensi), cara awamnya begitu dalam mengukur dampak ekonomi. Dampak ekonomi lainnya yaitu rakyat yang menjadi bagian ekosistem industri Telco (agen pulsa, kartu sim dan lainnya) jelas akan terdampak besar. Di sektor ini saja mungkin bisa dikatakan ada ratusan ribu rakyat yang menggantungkan hidupnya dalam usaha ini. Bayangkan, jika direct to cell disetujui misalnya, berapa banyak rakyat Indonesia yang usahanya akan gulung tikar. Ekonomi akan terguncang sedikit banyaknya.


B. Dampak Keamanan

Lalu soal dampak lainya yaitu terkait privasi dan kedaulatan sebuah bangsa. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa privasi data bangsa ini terjamin di saat Starlink sendiri tidak memiliki kantor, layanan konsumen yang jelas. Bagaimana juga dengan jaminan bahwa Starlink bakal mematuhi kaidah-kaidah atau norma, budaya, agama dan lainnya yang dianut bangsa ini, bagaimana cara memastikannya.

Di saat banyak rumor selama ini ada sekelompok masyarakat dibelahan bumi lainnya yang sangat bebas mengakses konten-konten yang dihadirkan Starlink yang justru bertolakbelakang dengan aturan norma, budaya, agama. Contoh salah satu suku di pedalaman Amazon yang kerap mengakses konten pornografi pasca kehadiran Starlink. Adapun soal data, lagi-lagi bagaimana cara Starlink meyakinkan publik tanah air bahwa data mereka aman, hingga saat ini belum ada penjelasan soal itu setidaknya. Jangankan publik, data pemerintah saja bisa dibobol hacker!


C. Dampak Ketenagakerjaan

Kehadiran Starlink jelas akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja tanah air. Diprediksi ribuan bahkan mungkin puluhan ribu tenaga kerja produktif yang bekerja di industri Telco terancam nganggur. Industri Telco mungkin tak mau ambil resiko ketika lini bisnisnya terdampak alias pendapatan mereka berkurang mau gak mau harus ada yang dikorbankan yaitu pengurangan tenaga kerja. Ini sudah menjadi hukum alam.

Yang jelas kehadiran dan keberpihakan pemerintah sebagaimana diamanatkan konstitusi kepada rakyatnya mesti diwujudkan secara konkret. Hadirkan keadilan dan kesejahteraan! Jangan sampai publik menilai Pemerintah hanya bekerja melayani kepentingan kapitalisme dan mengabaikan kepentingan rakyat yang jauh lebih besar. Kalau boleh meminjam istilah Tiongkok kuno "Gunung Terlalu Tinggi, Kaisar Terlalu Jauh" istilah ini menggambarkan bahwa apa yang dirasakan rakyat yaitu soal keadilan dan kesejahteraan misalnya rasanya sulit diwujudkan kekuasaan karena kekuasaan terlalu asyik beretorika di awang-awang (puncak gunung dan Kaisar ilustrasinya).

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 79 - SOKSI
advertisement
HUT RI 79 - ADIES KADIR
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

AstabratA Institute: Warisan Utang Pemerintah Jokowi

Oleh Agusto Sulistio - Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR era90an
pada hari Sabtu, 07 Sep 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pemerintahan Presiden Joko Widodo akan meninggalkan beban utang yang sangat besar bagi pemerintahan baru. Menjelang transisi kekuasaan, angka utang Indonesia kian ...
Opini

KIM Plus: Lonceng Kematian Demokrasi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Menyusul Putusan MK No.12/2024 yang memenangkan Prabowo-Gibran, Koalisi Indonesia Maju yang mengusung pasangan itu langsung berkonsolidasi untuk meraih sasaran berikutnya: ...