Oleh Radhar Tribaskoro pada hari Sabtu, 24 Agu 2024 - 10:49:20 WIB
Bagikan Berita ini :

Reformasi Jilid Dua

tscom_news_photo_1724471360.jpg
Radhar Tribaskoro (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Rapat paripurna DPR yang berencana mengakali putusan MK yang mengubah syarat-syarat pencalonan kepala daerah mendapatkan penolakan yang keras, tegas dan menyeluruh dari masyarakat. Bentrokan kekerasan terjadi di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Penolakan tersebut menyebabkan rapat paripurna DPR gagal mencapai kuorum. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa tidak ada rapat paripurna lagi sampai dengan tanggal 27 Agustus 2024, saat pendaftaran calon kepala daerah dimulai. Dengan begitu, KPU akan menjalankan pemilu sesuai dengan norma baru yang ditetapkan oleh Putusan MK No.60 dan 70 tahun 2024.

Apakah pembatalan itu akan meredakan aksi protes rakyat? Jawaban atas pertanyaan itu tergantung kepada penilaian publik atas sistem politik kita. Bila publik menganggap pembangkangan DPR atas putusan MK sebagai peristiwa politik random, aksi protes akan berhenti. Namun bila publik melihat peristiwa itu sebagai peristiwa sistematik maka aksi protes publik akan berlanjut. Nampaknya kemungkinan terakhir inilah yang akan terjadi.

Suatu perilaku politik dikatakan sistematik manakala perilaku itu bertali-temali dengan struktur di dalam sistem. Rapat paripurna yang diprotes itu adalah reaksi logis sistem politik berlaku atas putusan MK yang mengubah sebagian aturan yang memandu perilakuna. Dengan kata lain pembangkangan DPR kepada putusan MK dapat dianggap sebagai perilaku logis dari sistem yang tujuannya terganggu. Artinya, bentrokan Kamis 22/8/24 antara rakyat melawan sistem politik berlaku (DPR dan Presiden) terjadi karena tujuan DPR/Presiden bertentangan dengan tujuan publik.

Barriers to Entry (Pintu Penghalang)

Problema sistematik yang menjadi sorot kemarahan publik adalah eksklusivitas politik yang dijalankan oleh elit politik nasional. Kelompok elit itu ditengarai meletakkan _barriers to entry_ yang sangat tinggi agar tokoh-tokoh yang dipersepsikan sebagai lawan tidak bisa muncul ke permukaan. Salah satu bentuk _barriers to entry_ itu adalah _threshold_ atau batas minimal dukungan untuk menjadi calon kepala daerah.

Menurut Pasal 40 UU No.10/2016 tentang Pilkada syarat dukungan minimal adalah 20% jumlah kursi DPRD atau 25% perolehan suara. Syarat ini adalah sebentuk _barriers to entry_ yang jarang sekali bisa dipenuhi oleh satu partai, oleh karena itu mereka harus berkoalisi. Namun, membangun koalisi di jagad politik Indonesia bukanlah hal yang mudah. Apalagi di era moderen sekarang ini politik bukan lagi ajang pengabdian, namun ajang untuk memperoleh _cuan_ (rejeki).

Koalisi yang diharapkan adalah koalisi dengan partai penguasa. Maka berbondong-bondong partai politik menawarkan bergabung dengan penguasa. Koalisi pemerintah dengan sendirinya menggembung menjadi 12 partai. Koalisi raksasa ini praktis hanya menyisakan partai PDIP sebagai partai yang tidak berada di dalam pemerintahan. Dengan sendirinya PDIP kekurangan suara untuk mengajukan calonnya sendiri. Di luar itu, Anies Baswedan yang dikenal sebagai mantan gubernur berprestasi, gagal maju dalam Pilgub DKI 2024 karena tidak ada lagi partai tersedia untuk mencalonkan dirinya.

Alhasil, aturan _threshold_ dan koalisi dengan cerdik telah dimanfaatkan untuk membangun pintu penghalang bagi calon pemimpin yang dipersepsikan sebagai lawan penguasa. Jagad politik Indonesia dengan sendirinya menjadi sangat eksklusif, hanya orang-orang yang disukai oleh penguasa boleh menjadi pemimpin.

Eksklusivitas politik ini tentu sangat merugikan publik sebab pilkada kemungkinan besar diisi oleh calon-calon yang tidak mumpuni. Padahal publik ingin arena kompetisi politik merepresentasikan seluruh rakyat, baik pendukung maupun penentang penguasa. Selain itu publik menginginkan calon-calon terbaik yang diajukan ke hadapan mereka. Publik tidak mau diharuskan memilih seorang _dumb contestant_ lantaran ia tidak dapat memilih _dumber contestant_ yang bernama “kotak kosong”.

Dalam hal ini, partai politik harus bertanggung-jawab sebab, menurut undang-undang, merekalah yang diberi hak untuk menyeleksi calon-calon pemimpin. Partai politik tidak bisa berdalih bahwa apa yang mereka bikin adalah dalam rangka kompetisi.

Sebab dalih apapun tidak boleh mengabaikan kewajiban partai politik menyajikan calon-calon pemimpin terbaiknya kepada publik. Dengan demikian, koalisi yang menciptakan _barriers to entry_ dalam proses nominasi pemilu haruslah dianggap sebagai upaya untuk mengabaikan prinsip pemilu yang jujur dan adil.

Dari perspektif inilah kita melihat arti strategis dari Putusan MK No.60/2024. Putusan itu telah menyingkirkan salah satu faktor struktural, yaitu _threshold_, yang menghambat pemilihan pemimpin dalam proses yang adil dan setara.

Reformasi Politik Jilid Dua

Demokrasi dapat diibaratkan pohon. Ia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang memeliharanya. Rakyat telah mempercayakan partai politik untuk memelihara pohon demokrasi itu.

Namun, berbagai faktor struktural mengancam kelangsungan demokrasi, termasuk bukan hanya koalisi dan ambang batas _(threshold)_, tetapi juga perluasan kekuasaan presiden _(presidential aggrandizement)_, politik yang berpusat pada individu _(personalization politics)_, internal partai yang tidak demokratis, politik uang, dan dinasti politik. Semua faktor ini secara perlahan tapi pasti menggerogoti akar demokrasi, melemahkannya dari dalam.

Jika demokrasi terus-menerus diserang oleh elemen-elemen destruktif ini, ia akan layu dan mungkin tumbang. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk melenyapkan semua pengaruh negatif ini. Ini bukan sekadar perubahan kosmetik, tetapi memerlukan Reformasi Politik Jilid Dua, sebuah upaya besar untuk menyelamatkan dan memperkuat demokrasi kita.

Reformasi ini harus menyasar seluruh aspek yang merusak demokrasi, dengan tujuan membangun kembali sistem politik yang benar-benar melayani kepentingan rakyat dan menjaga integritas demokrasi yang kita miliki. Hanya dengan reformasi yang menyeluruh, kita bisa memastikan bahwa pohon demokrasi akan terus tumbuh kokoh, memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi semua warga negara.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 79 - SOKSI
advertisement
HUT RI 79 - ADIES KADIR
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Penguasa Si 'Hidung Panjang' Harus Dilawan

Oleh Isti Nugroho
pada hari Jumat, 13 Sep 2024
SEMBILAN tahun bangsa kita terpukau dan tersihir oleh populisme seorang penguasa. Penguasa itu mendapat  beberapa sebutan yang bernada ejekan. Misalnya, “raja jawa”, ...
Opini

Jakarta 'Killing Field' Ridwan Kamil

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Setelah dicemplungkan Partai Golkar ke Jakarta dan dititipkan kepada KIM agar mendukungnya, ternyata Ridwan berada di ruang "kariweuhan". Ia ditolak disana-sini ...