Oleh Lukas Luwarso (Antusiasawan Sains) pada hari Senin, 25 Nov 2024 - 20:08:26 WIB
Bagikan Berita ini :

Populisme Jokowi dan Runtuhnya Demokrasi

tscom_news_photo_1732540106.jpg
(Sumber foto : Istimewa)

Demokrasi runtuh bukan karena munculnya orang kuat dan kharismatik, melainkan karena keroposnya struktur etika-masyarakat, spesifik aparat pemerintahan, yang menopangnya.

Miskonsepsi terbesar demokrasi adalah menyamakannya dengan terselenggaranya pemilu. Dalam budaya politik tanpa etika, _etik-ndasmu_, demokrasi runtuh justru melalui pemilu. Demokrasi juga bisa runtuh di tangan penguasa psikopat atau plonga-plongo tapi gila kuasa. Itu pelajaran sejarah dari pengalaman Jerman saat munculnya Hitler, dan Indonesia di era Jokowi.

Ironi terbesar dari Hitler dan Jokowi adalah keduanya naik kekuasaan melalui jalan demokrasi (pemilu), namun kemudian justru berupaya membunuh demokrasi yang memberinya kekuasaan. Hitler menggunakan Fasisme-Naziisme, Jokowi memakai Populisme. Dua ideologi ini punya kemiripan, dalam hal pemujaan berlebihan pada figur politikus.

Kemiripan lainnya adalah anti-elitisme dan anti-expertisme. Elitis dan ekspertis dianggap sebagai penyebab utama susahnya rakyat. Fasisme, menggusur elite tradisional (bangsawan, cendekiawan) menggantinya dengan elite baru aparatus kekuasaan. Populisme membangun polarisasi "kami vs mereka," kami adalah rakyat sejati dan mereka adalah elite yang harus disingkirkan atau dipersekusi.

Fasisme dan populisme menggunakan retorika atau slogan emosional untuk memobilisasi massa. Menggunakan propaganda untuk memengaruhi opini publik. Cenderung meremehkan atau melemahkan lembaga demokrasi, dengan alasan dikuasai kelompok elite yang tidak mewakili "rakyat". Fasisme secara terbuka menolak demokrasi dengan menerapkan sistem otoriter. sedangkan populisme menunggangi demokrasi dengan memanipulasi aturan dan sistem.

Fasisme sudah hampir punah sebagai ideologi, namun populisme menunjukkan kecenderungan menguat di sejumlah negara. Menguatnya populisme didukung oleh munculnya media sosial, sebagai medium banal untuk perang informasi dan opini. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika adalah contoh kemenangan populisme di Amerika. Orang menaruh kepercayaan pada politikus lancung, seperti Trump (AS), Viktor Orban (Hungaria), Bolsonaro (Brasil), atau Jokowi (Indonesia), karena memakai bahasa simplistik dalam menyuarakan "aspirasi". Mereka disukai pendukung fanatiknya karena seolah-olah “merakyat.”

Populisme memandang informasi sebagai senjata untuk perang narasi, buzzer bayaran adalah pasukan garda depan. Penganut populisme menganggap tidak ada realitas atau kebenaran objektif menyangkut prinsip, hukum, etika, dan norma dalam penyelenggaraan negara. Mereka menganggap kebenaran bersifat kabur. Kekuasaan adalah satu-satunya realitas, sehingga semua kebijakan sosial diambil untuk kepentingan kekuasaan. Contoh aktual adalah memakai program Bansos untuk kepentingan politik kekuasaan.

Paradoks populisme adalah dimulai dengan propaganda pro-rakyat ("Jokowi adalah kta"), namun saat berkuasa, perilakunya menjadi "kekuasaan adalah kami". _You"re either with me or against me_. Frasa yang sengaja dipakai untuk menciptakan polarisasi dan sikap permusuhan antar sesama warga.

Jokowi adalah politikus populis tanpai partai, ia sukses menjadikan lembaga kepolisian menjadi semacam partainya (populer dengan julukan "partai coklat"). Ia tidak punya nyali untuk bersikap otoriter, layaknya seorang fasis. Ia cukup memanipulasi aparat kepolisian, dan aparat hukum lainnya untuk melakukan aksi-aksi pseudo-Gestapo, dengan menekan, menyandera, dan mengintimidasi lawan dan kawan politik.

Hari-hari ini viral di media sosial video sosok si populis, Jokowi, "bekerja keras" berkampanye untuk memenangkan orang-orangnya di kompetisi Pilkada. Ia memakai istilah "titip", untuk mempromosikan calon-calon kepala daerah yang ia dukung agar menang dalam Pilkada serentak, 27 November lusa. Titip pada siapa? Tentu pada "partai coklat", aparat, dan birokrat yang ikut mengawal dan mengamankan pelaksanaan Pilkada. Ia ingin mengulang "sukses" memenangi Pilpres 2024.

Lazimnya, politikus populis cuma punya power saat masih berkuasa. Propaganda dan perintahnya hanya ekfektif saat berkuasa. Kita lihat dan tunggu, apakah di awal era pemerintahan Prabowo saat ini Jokowi memang secara real masih yang berkuasa. Ataukah cuma seorang pemain sirkus politik populis yang cari perhatian, merasa masih berkuasa, dan mampu meruntuhkan demokrasi Indonesia.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Alasan Anies

Oleh Ahmadie Thaha (Pengaruh Pesantren Tadabbur al-Qur'an)
pada hari Senin, 25 Nov 2024
Siapa yang menyangka, panggung politik Indonesia kembali menyuguhkan lakon komedi penuh intrik di Pilkada Jakarta 2024? Dari Megawati yang dulu melontarkan ucapan pedas ke Anies Baswedan, ...
Opini

Transformasi Laut Cina Selatan Menjadi Pusat Kerjasama Ekonomi

Geopolitik dunia sedang mengalami transformasi yang signifikan. Pergeseran kekuatan dari dominasi unipolar ke multipolar ditandai dengan meningkatnya peran negara-negara berkembang, termasuk ...