JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Akademisi Universitas Bung Karno atau UBK Hudi Yusuf menyarankan pemerintah tetap dapat berfikir kreatif untuk menggenjot pendapatan negara selain dengan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.
“Pendapatan negara jangan menggantungkan kepada pajak sebagai pendapatan utama karena semakin besar pajak semakin menambah penderitaan bagi rakyat. Mari berfikir kreatif agar membuat rakyat menjadi produktif dan dapat memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara,” kata Hudi dalam pernyataanya kepada awak media di Jakarta, Senin,(16/12/2024).
Hudi berharap, pemerintah juga dapat secara detail menjelaskan barang-barang yang terdampak dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.
“Harus jelas misalnya pakaian seperti apa yang dikenakan PPN 12%, pakaian sehari-hari hingga pakaian untuk bekerja tidak perlu bayar PPN 12% kecuali pakaian yang harganya diatas 5 juta,” beber Hudi.
Tak hanya itu, kata Hudi, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen juga sebaiknya tidak menyasar pangan atau makanan. Sekalipun, makanan-makanan tersebut diperjual belikan di restoran-restoran kelas atas.
“Walaupun di restoran mewah kecuali makan di club-club malam tetapi bukan di cafe -cafe mall, selera makan setiap orang berbeda dan begitu juga tempat makan sehingga jangan di permasalahkan dengan pajak agar tumbuh usaha-usaha di bidang kuliner sebagai objek wisata sekaligus memberantas pengangguran,” beber Hudi.
Hudi mewanti-wanti pemerintah soal adanya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen di sektor perumahan. Hudi heran lantaran kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen menyasar sektor perumahan.
“Mereka yang belum memiliki rumah seyogyanya tidak dapat dikenakan pajak dengan nilai rumah tertentu misalnya di bawah Rp 500 juta termasuk dengan apartemen murah (rumah susun) tidak perlu dikenakan pajak,” jelas Hudi.
Hudi meminta, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen tidak menyasar urusan kepemilikan tanah. Hudi ingin agar tanah pertanian tidak terdampak karena kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.
“Kepemilikan tanah tidak perlu dikenakan pajak khusus tanah pertanian yang tidak dapat berubah fungsi menjadi kepentingan lain, pemerintah harus hati-hati menetapkan pajak baru jangan sampai kontra produktif dengan tujuan pembangunan,” pungkasnya.