Desakan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) mundur dari jabatannya telah lama bergema, bahkan muncul tuntutan agar DPR/MPR memakzulkannya berdasarkan Pasal 7A UUD 1945. Namun hingga masa akhir jabatannya pada 20 Oktober 2024, hal tersebut tak kunjung terealisasi. Di sisi lain, berbagai kasus yang melibatkan Jokowi terus mencuat, meski kekuasaan selama ia menjabat mampu meredam upaya hukum yang ditujukan kepadanya.
Tumpukan Dosa Politik
Kasus-kasus yang menyeret Jokowi bukanlah cerita baru. Tuduhan nepotisme telah dilaporkan ke Bareskrim, sementara isu ijazah palsu berkali-kali dipersoalkan di pengadilan. Kasus pelanggaran HAM KM 50 terus ditagih sebagai utang politik yang belum terbayar. Proyek Ibu Kota Negara (IKN) disebut sebagai lambang kesewenangan dan pemborosan anggaran negara.
Di Rempang, rakyat melawan penggusuran yang dianggap sebagai penggadaian kedaulatan kepada Tiongkok. Pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) 1 dan PIK 2 dianggap merampas tanah rakyat dengan keterlibatan para pengusaha besar. Semua ini memperkuat citra buruk Jokowi sebagai pemimpin yang dipandang tak bermutu dan layak diadili.
Upaya Mempertahankan Kekuasaan
Setelah masa jabatannya berakhir, Jokowi diduga masih ingin mempertahankan pengaruh dan mencari perlindungan. Ia disebut mengandalkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai “Singa Sirkus”-nya serta mendorong anaknya, Gibran Rakabuming Raka, untuk tetap berada di lingkaran kekuasaan. Kepala daerah yang lahir dari “cawe-cawe” politiknya diduga menjadi bagian dari jaringan pengaruhnya.
Selain jalur politik, Jokowi disebut memiliki koneksi dengan konglomerat besar, aparat keamanan, dan birokrasi yang dianggap sebagai mesin hukum pelindungnya. Dalam konteks ini, Kapolri dan Jaksa Agung menjadi instrumen penting untuk melindungi dirinya dari jerat hukum.
Dimulai dari PDIP
Namun, langkah penghukuman terhadap Jokowi mulai terlihat dengan keputusan PDIP memecat dirinya secara resmi. Surat Keputusan (SK) No. 1649 untuk Jokowi, No. 1650 untuk Gibran, dan No. 1651 untuk Bobby Nasution menjadi sinyal pecahnya hubungan antara Jokowi dan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Pemecatan ini menegaskan bahwa PDIP tak lagi menjadi tempat berlindung bagi Jokowi. Meski dinilai terlambat, langkah ini dianggap sebagai awal dari penghukuman yang lebih luas.
Arah Penghukuman Selanjutnya
Berikutnya, dukungan dari konglomerasi besar seperti “9 Naga” berpotensi berpindah ke “majikan” politik baru. Pembangunan PIK 2 dan proyek IKN yang dipandang bermasalah bisa menjadi titik rawan bagi Jokowi. Jika Prabowo Subianto berani mengambil langkah besar dengan mengganti Kapolri dan Jaksa Agung, maka proses penghukuman politik dan hukum terhadap Jokowi bisa menjadi kenyataan.
Seperti yang terjadi pada Presiden Suriah Bashar al-Assad, kemungkinan pelarian politik Jokowi akibat tekanan rakyat yang marah bukanlah hal mustahil. Ketika jaring perlindungan melemah, Prabowo mungkin tak akan mampu melindunginya lebih lama.
Kesimpulan
Jokowi kini berada di ujung pertarungan politik yang sulit. Dengan PDIP memutuskan hubungan dan potensi bergesernya dukungan dari elite politik serta konglomerat besar, masa depannya menjadi semakin tidak pasti. Apakah ia akan mampu bertahan, ataukah justru menghadapi penghukuman yang lebih serius di masa mendatang, waktu yang akan menjawab.
Bandung, 17 Desember 2024
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #