JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Literasi Pemuda Indonesia (LPI) didukung USAID dan Internews menyelenggarakan acara Media Brief dan Capacity Building yang dihadiri 14 jurnalis Bandung Raya di Hotel Horison Ultima, Bandung, Sabtu, 21 Desember 2024. Acara yang bertajuk “Populisme Agama dan Politik Identitas di Pilkada Jabar. Bagaimana Seharusnya Media Meliput?” ini diselenggarakan agar para jurnalis memiliki gambaran serta pemahaman tentang bagaimana memberitakan populisme agama dan politik identitas di media masing-masing.
Berdasarkan hasil pantauan tim Social Media Monitoring, LPI sendiri, menemukan bahwa selama Oktober dan November 2024 di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Barat politik identitas masih kerap digunakan dalam kampanye politik.
“Penggunaan politik identitas, khususnya berbasis agama ini kerap dijadikan alat untuk menjatuhkan reputasi pasangan calon tertentu, yang paling dominan adalah narasi Calon Gubernur Dedi Mulyadi sebagai seorang sesat atau penganut Sunda Wiwitan,” ungkap Purnama Ayu, Media Brief LPI dalam diskusi (21/12).
Menurutnya, ada enam penyebab kenapa isu politik identitas dan populisme agama masih marak ditemukan di momen Pilkada Jabar 2024. Di antaranya, komposisi demografi dan karakteristik keagamaan, budaya politik berbasis komunitas, strategi elektoral yang efektif, minimnya pendidikan politik yang kritis, pengaruh media sosial, dan persaingan politik yang Intens.
Pemantauan di berbagai platform
Lebih lanjut, selama periode pemantauan November 2024, politik identitas berbasis agama yang dikaitkan dengan sosok Dedi Mulyadi muncul di enam jenis platform, yaitu media online, Youtube, Facebook, X, Instagram dan TikTok sebanyak 732 postingan. Meskipun narasi tersebut tak menggerus elektabilitas Dedi Mulyadi, tapi penggunaan politik identitas adalah praktik yang menodai demokrasi.
Founder sekaligus Pimpinan LPI, Dedy Helsyanto menjelaskan, isu politik identitas yang diarahkan pada Dedi Mulyadi lebih banyak bertebaran di media sosial daripada di media online. Platform yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan konten dari topik tersebut adalah platform X, kemudian disusul TikTok dan media online.
“Tim LPI menggunakan kata kunci Dedi Mulyadi dan Islam, Sunda Wiwitan, Musyrik dan Sesat di Drone Emprit untuk menganalisis percakapan tentang politik identitas di platform media sosial dan media online,” jelasnya.
Salah satu temuan menarik, ada satu hari yang menonjol di mana topik terkait Dedi melonjak signifikan di X. Ini tak lepas dari munculnya tulisan berjudul Demi Menjaga Ketauhidan, Umat Islam Haram Memilih Dedi Mulyadi yang dimuat di portal pribuminews.co.id, democrazy.id, dan kabarterkini 24.com. Lalu tautan dari tulisan yang dibagikan portal tersebut dikapitalisasi melalui X pada 3 November yang dilihat serta dijangkau oleh jutaan akun.
“Kami menyebutnya sebagai Operasi 3 November. Momen di mana narasi politik identitas berbasis agama yang dialamatkan pada Dedi Mulyadi mencapai puncaknya,” ungkap Dedy lagi.
Peran media mengangkat minoritas
Menurut LPI, media massa di sisi lain, yang menentang praktik ini, yang mendukung, atau bersikap pragmatis, dinilai sama-sama berkontribusi pada perubahan sosial yang mempertajam polarisasi warga. Padahal seharusnya media mengandalkan profesionalisme dalam memberitakan tentang populisme dan politik identitas di Pilkada. Idealnya, media harus bisa bersikap kritis dengan menciptakan ruang buat bertemunya berbagai kelompok untuk berdialog secara kritis.
Menurut Tantowi Anwar, selaku Advocacy Manager Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) menyatakan, media harus terbuka atau membuka ruang dialog mengenai kelompok minoritas seperti sunda wiwitan. “Mungkin tanpa di sadari banyak kelompok minoritas yang melakukan hal baik tapi enggak terekspos. Mulai sekarang bisa diangkat, untuk mengurangi pemberitaan diskriminasi,” ungkap Tantowi.
Menurut dia, media harus memiliki perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), gender, mengedepankan kelompok minoritas, kritis terhadap isu dan narasumber, dan mempertimbangkan dampak yang dirasakan korban. “Jadi pemberitaan yang harus di-up itu harus pemberitaan yang bisa mengubah. Media mencoba masuk pada satu kasus atau peristiwa, mencoba mendapatkan respons masyarakatnya,” jelas dia.
Selain itu, imbuhnya, media perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih inklusif dan konstruktif. Misalnya dengan mengutamakan kritisisme, nuansa, memancing lebih banyak percakapan publik soal ini, serta yang terpenting adalah menawarkan solusi. “Hal-hal ini mungkin bisa dicapai jika media berkolaborasi,” pungkasnya.