Oleh Sahlan Ake pada hari Senin, 06 Jan 2025 - 10:38:40 WIB
Bagikan Berita ini :

Penembakan Warga Sipil, Prof Henry Indraguna Mendesak Pengendalian Peredaran Senjata Api di Aparatur Negara

tscom_news_photo_1736134720.jpg
Henry Indraguna (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Penembakan bos rental mobil di rest area km 45 ruas tol Tangerang-Merak semakin menambah daftar panjang penyimpangan penggunaan senjata api oleh aparatur negara. Kali ini pelakunya adalah anggota TNI AL.

Pakar hukum Prof Dr Henry Indraguna SH MH menilai fenomena yang terjadi belakangan ini, baik oleh oknum polisi maupun TNI menunjukkan lemahnya kontrol penggunaan senjata api.

"Baik polisi maupun tentara kan sudah memiliki Standar Operating Procedure (SOP), jika ada yang menyimpang dipastikan melanggar SOP tersebut. Dan tentunya harus mendapatkan sanksi tegas baik hukum disiplin prajurit TNI maupun sanksi demosi di Polri," ujar Prof Henry, Minggu (5/1/2025)

Prof Henry menilai, tugas pengawasan dari POM TNI maupun Propam Polri memang lebih berat karena yang diawasi adalah dari kalangan internal mereka sendiri.

Namun ia masih percaya profesionalitas dua lembaga ini untuk menegakkan disiplin anggotanya.

"Terbukti di beberapa kejadian, mereka sigap, memeriksa, bahkan menghukum pelakunya. Tradisi memberi sanksi keras dan tegas ini mutlak perlu ditingkatkan agar menambah efek jera dan aparatur pemegang senjata api tak main-main. Terlebih hingga berakibat korban meninggal karena penggunaan senjata api yang melanggar prosedur. Sanksi disiplin dan hukum badan hingga vonis penjara seumur hidup sebagai ganjarannya," tegas Doktor Ilmu Hukum dari UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini.

Prof Henry mempertegas pemeriksaan psikologi pemegang senjata api itu, sebaiknya memang dievaluasi tiap satu sampai tiga bulan sekali.

Hal itu memang merepotkan namun akan memberi rasa aman kepada masyarakat dan memberikan evaluasi super ketat kepada anggota.

Salah Paham Permintaan Pengawalan

Sementara itu menanggapi aksi saling bantah antara Agam, anak korban dan Kapolsek Cinangka, AKP Asep Iwan Kurniawan tentang permintaan pengawalan atau pendampingan, Prof Henry menyebut ada kemungkinan terjadi salah paham.

"Versi Kapolsek, anak korban saat meminta pendampingan mengaku sebagai leasing. Sementara anak korban tidak menjelaskan soal itu," katanya.

Prof Henry yang juga Politisi Golkar ini menyarankan agar masyarakat yang membutuhkan bantuan polisi untuk menyampaikan informasi secara benar dan akurat serta mengikuti saran petugas kepolisian. Menurutnya jika sudah melapor artinya sudah percaya bahwa yang dilapori bisa membantu.

"Saya bisa memaklumi, karena untuk operasi di luar jadwal patroli dan sifatnya tak terencana pasti membutuhkan konsultasi ke pimpinan. Polisi juga perlu memetakan dan mempelajari latar belakang kasusnya secara detail agar tak salah dalam mengambil tindakan. Tapi saya juga memahami bahwa anak korban atau pelapor ingin agar polisi bertindak cepat mumpung pelakunya diketahui posisinya," urai Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.

Perbedaan pemahaman kedaruratan secara sosiologis di masyarakat dan kedaruratan secara keamanan oleh polisi, menurutnya, akan menimbulkan polemik dan kesalahpahaman.

"Sama seperti membawa pasien korban kecelakaan ke rumah sakit. Pasien dan keluarganya secara psikologis ingin segera mendapatkan kamar untuk perawatan lanjutan dan istirahat. Sementara tim medis ketika sudah memeriksa dan mengambil tindakan tentu tak bisa terus menerus mendampingi. Sementara perawat butuh waktu menyiapkan kamar jika ada yang kosong," kata Henry menganalogikan peristiwa Rest Area Tangerang-Merak.

Profesor dari Unissula Semarang ini berpendapat perbedaan pemahaman kedaruratan itu rawan menjadi konflik jika ada yang menunggangi. Celakanya jika ada yang segera memviralkan dengan sisipan opini pribadi.

Namun lepas dari semua itu, dibutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap para aparatur pemegang senjata api. Evaluasi meliputi banyak hal.

Yang paling penting adalah monitoring kondisi psikologis pemegang senjata api itu.

"Harus diakui secara jujur, siapapun orangnya saat memegang senjata api, pasti rasa percaya dirinya akan meningkat. Nah bahayanya jika ia kemudian sedang ada masalah yang tak berhubungan dengan tugasnya. Disinilah titik rawan penyalahgunaan senjata api milik aparat tersebut," tandas Prof Henry.

tag: #polisi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement