Selasa, 18 Maret 2025, menjadi hari yang berat bagi Bursa Efek Indonesia (BEI). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 6,12 persen, memicu penghentian sementara perdagangan (trading halt) untuk meredam gejolak pasar. Kejatuhan ini menjadikan IHSG sebagai bursa dengan kinerja terburuk di Asia pada hari tersebut, sementara bursa-bursa lain justru mencatat kenaikan.
Sejumlah analis menilai aksi jual besar-besaran ini dipicu oleh ketidakpastian kebijakan ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Beberapa faktor yang disebut menjadi perhatian investor antara lain skema pembiayaan Mandatory Business Group (MBG), pendirian Danantara, kelanjutan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), rumor mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta pembahasan RUU TNI yang menuai kontroversi.
Faktor Internal dan Sentimen Pasar
IHSG yang turun tajam pada 18 Maret 2025 bukanlah kejadian pertama yang mengindikasikan ketidakpastian pasar terhadap pemerintahan baru. Sebelumnya, pada 21 Oktober 2024—sehari setelah Prabowo dilantik—IHSG turun 0,86 persen. Ketika Danantara diluncurkan pada 24 Februari 2025, IHSG juga mengalami penurunan 2,4 persen.
Menurut laporan media internasional, ketidakpastian mengenai sumber pendanaan MBG dan Danantara membuat investor khawatir akan stabilitas fiskal Indonesia. MBG yang menggunakan dana dari pemotongan anggaran berbagai kementerian menimbulkan pertanyaan mengenai disiplin fiskal pemerintah. Sementara itu, Danantara, yang digadang-gadang sebagai sovereign wealth fund versi baru, menghadapi skeptisisme karena pengelolaannya dipercayakan kepada figur politik, bukan profesional independen.
Di sisi lain, proyek IKN yang belum menunjukkan progres signifikan turut menambah kekhawatiran pasar. Dengan dana besar yang sudah dikucurkan, investor mempertanyakan keberlanjutan proyek ini dan dampaknya terhadap ekonomi nasional. Rumor mundurnya Sri Mulyani semakin memperkuat spekulasi mengenai arah kebijakan ekonomi pemerintah.
Sementara itu, pembahasan RUU TNI yang dianggap memperluas kewenangan militer dalam kehidupan sipil mendapat sorotan dari investor asing. Mereka menilai regulasi ini berpotensi mengganggu iklim investasi dan stabilitas demokrasi, dua faktor yang sangat diperhitungkan dalam penilaian risiko investasi.
Respons Pemerintah dan Tantangan yang Dihadapi
Meski volatilitas pasar adalah hal yang wajar, reaksi dari pemerintah menjadi faktor penting dalam membangun kembali kepercayaan investor. Namun, pernyataan Presiden Prabowo yang menyebut bahwa "rakyat tidak tahu apa itu bursa" justru menuai kritik. Pernyataan ini dianggap kurang sensitif terhadap dinamika pasar yang sebenarnya mempengaruhi perekonomian nasional secara keseluruhan.
Kepercayaan pasar tidak hanya dibangun dengan retorika, tetapi juga dengan langkah konkret. Prabowo sebelumnya pernah berjanji akan memberantas korupsi, bahkan sampai ke Antartika. Belakangan, ia juga mengusulkan pembangunan penjara di pulau terpencil bagi koruptor. Namun, realisasi dari janji-janji tersebut masih menjadi tanda tanya, terutama ketika laporan-laporan mengenai dugaan korupsi di lingkaran kekuasaan tidak menunjukkan tindak lanjut hukum yang jelas.
Langkah instan seperti bertemu dengan para konglomerat untuk meyakinkan pasar juga dinilai tidak cukup untuk membalikkan sentimen negatif. Pasar menilai kebijakan ekonomi yang tidak terukur dan berorientasi jangka pendek tidak akan mampu mengembalikan kepercayaan investor secara berkelanjutan.
Membangun Kepercayaan dengan Kebijakan yang Konsisten
Pasar membutuhkan kepastian dan transparansi dalam kebijakan ekonomi. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil memiliki dasar yang kuat dan tidak sekadar langkah populis yang berpotensi merusak stabilitas ekonomi jangka panjang.
Jika Prabowo ingin menjaga warisan politik dan ekonominya, ia perlu kembali ke prinsip-prinsip yang menghormati mekanisme pasar, transparansi fiskal, dan supremasi hukum. Investor lebih percaya pada kebijakan yang konsisten dan berbasis fakta dibandingkan janji-janji besar yang tidak diikuti dengan tindakan nyata.
Ke depan, tantangan terbesar bagi pemerintahan Prabowo bukan hanya membuktikan kapabilitasnya dalam menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga menunjukkan komitmennya terhadap reformasi yang dapat mengembalikan kepercayaan publik dan pasar. Jika tidak, volatilitas yang terjadi di bursa saham bisa menjadi refleksi dari ketidakpastian yang lebih besar dalam perekonomian nasional. *
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #