Oleh Radhar Tribaskoro pada hari Senin, 24 Mar 2025 - 16:03:55 WIB
Bagikan Berita ini :

KEPEMIMPINAN PUTIN DAN PRABOWO

tscom_news_photo_1742807035.jpg
(Sumber foto : )

Ketika Vladimir Vladimirovich Putin mengambil alih kekuasaan di Rusia pada akhir 1999, negara itu berada dalam kondisi yang nyaris runtuh. Ekonomi hancur, wilayah-wilayahnya terancam perpecahan, dan wibawa pemerintah pusat nyaris nihil di mata masyarakat maupun elite. Dua dekade kemudian, Rusia berdiri kembali sebagai kekuatan besar di panggung global. Citra itu dibangun dengan satu pendekatan yang keras dan konsisten: menegakkan kedaulatan negara di atas seluruh kekuatan lain, terutama kekuatan oligarki yang sebelumnya mendominasi politik dan ekonomi Rusia. Vladimir Putin menjadi simbol dari model kepemimpinan yang tak sekadar pragmatis, tetapi juga ideologis, dengan komitmen jangka panjang terhadap visi kebangkitan nasional.

Berbeda konteks tetapi serupa tantangan, Prabowo Subianto memasuki panggung kekuasaan Indonesia setelah bertahun-tahun menjadi oposisi dan pengkritik keras oligarki dalam sistem politik dan ekonomi nasional. Dalam bukunya, Paradoks Indonesia, ia menggambarkan dengan tajam ketimpangan struktural yang lahir dari dominasi kekuatan modal. Prabowo mengangkat isu oligarki sebagai ancaman langsung bagi keadilan sosial dan kedaulatan negara. Namun, sejak masuk ke dalam lingkaran kekuasaan formal sebagai Menteri Pertahanan dan akhirnya terpilih sebagai Presiden Indonesia, Prabowo justru menunjukkan kecenderungan yang lebih kompromistis terhadap oligarki. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang sejauh mana ia bersedia dan mampu mengimplementasikan visi yang pernah ia usung.

Vladimir Putin memulai konsolidasi kekuasaannya dengan pendekatan yang langsung dan tegas. Salah satu prioritas utamanya adalah menjinakkan oligarki yang telah tumbuh liar di era Boris Yeltsin. Para oligark Rusia di masa itu tidak hanya menguasai sektor-sektor strategis seperti energi dan perbankan, tetapi juga mengendalikan media massa dan bahkan ikut menentukan kebijakan politik nasional. Putin memahami bahwa kedaulatan negara Rusia tidak mungkin ditegakkan selama kekuasaan politik tersandera oleh elite ekonomi. Karena itu, ia menawarkan kesepakatan yang sederhana namun keras kepada para oligark: mereka diperbolehkan mempertahankan kekayaan mereka, asalkan tidak mencampuri urusan politik dan tunduk pada negara. Penangkapan Mikhail Khodorkovsky menjadi sinyal paling jelas bahwa Putin tidak akan ragu menindak siapa pun yang melanggar batas ini. Sejak saat itu, struktur kekuasaan di Rusia mengalami perubahan fundamental. Negara menjadi pusat otoritas tunggal, sementara oligarki dikendalikan agar tidak mengancam kedaulatan politik.

Dalam kerangka itu, Putin tidak sekadar menjadikan negara sebagai institusi administratif, tetapi juga sebagai aktor utama dalam ekonomi. Ia memastikan kendali penuh atas sumber daya alam strategis seperti minyak dan gas, melalui perusahaan-perusahaan negara yang loyal pada kekuasaan pusat. Selain itu, Putin juga mengonsolidasikan kekuasaan di tingkat birokrasi dan militer, menciptakan rantai komando yang vertikal dan terpusat. Semua kepala daerah pada akhirnya tunduk pada kekuasaan Moskow, dan loyalitas kepada presiden menjadi kunci bertahan dalam struktur kekuasaan Rusia.

Prabowo Subianto, di sisi lain, meskipun menyuarakan kritik tajam terhadap oligarki, belum mengambil langkah-langkah serupa dalam membangun kekuasaan negara di atas modal. Sebagai tokoh yang pernah menggambarkan ketergantungan Indonesia terhadap kapitalisme kroni sebagai ancaman eksistensial, Prabowo seharusnya memiliki dorongan kuat untuk menciptakan sistem yang meletakkan negara di atas pengaruh kekuatan modal. Namun, realitas politik di Indonesia membawanya ke arah yang berbeda. Setelah menjadi bagian dari kabinet Joko Widodo, Prabowo memperluas jejaring politiknya melalui aliansi yang mencakup elite ekonomi dan politik yang sebelumnya ia kritik. Koalisi politik yang mengantarkannya ke kursi presiden dianggap oleh banyak pengamat sebagai representasi dari aliansi oligarki terbesar dalam sejarah pemilu Indonesia.

Berbeda dengan Putin yang menegaskan kontrol negara atas oligarki, Prabowo tampak justru terintegrasi dalam sistem kekuasaan yang ditopang oleh oligarki itu sendiri. Aliansi politik yang ia bangun lebih bersifat transaksional, bertumpu pada negosiasi kepentingan antara berbagai kelompok elite. Tidak ada indikasi bahwa Prabowo akan memulai restrukturisasi radikal terhadap hubungan antara negara dan modal seperti yang dilakukan Putin di Rusia. Desentralisasi dan otonomi daerah tetap berjalan sebagaimana adanya, sementara kebijakan ekonomi cenderung akomodatif terhadap kepentingan modal besar, baik dalam negeri maupun asing.

Perbedaan fundamental lain terletak pada kesetiaan terhadap visi dan nilai. Putin konsisten sejak awal terhadap misinya membangkitkan Rusia sebagai negara berdaulat yang bebas dari campur tangan asing dan tekanan internal dari oligarki. Meskipun menghadapi sanksi internasional, tekanan ekonomi, dan isolasi politik, Putin tidak pernah menyimpang dari garis kebijakan utamanya. Ia mempertaruhkan legitimasi internasional Rusia demi mempertahankan kedaulatan negara sesuai dengan visinya. Sebaliknya, Prabowo, yang pernah menulis secara mendalam tentang bahaya oligarki, tampak pragmatis dalam implementasi kekuasaannya. Kompromi politik lebih dikedepankan, sementara kebijakan yang benar-benar membatasi kekuatan oligarki belum terlihat jelas.

Dalam hal narasi kebangkitan nasional, Putin berhasil membangun ideologi yang kuat tentang Rusia yang bangkit melawan dominasi Barat. Ia membangun rasa bangga nasional dengan narasi bahwa Rusia adalah benteng terakhir dari peradaban yang berdaulat dan mandiri, yang menolak tunduk kepada nilai-nilai liberal Barat. Retorika ini tidak hanya menciptakan legitimasi internal, tetapi juga memperkuat kontrolnya atas masyarakat. Prabowo, meskipun mengusung konsep “Indonesia Emas 2045”, lebih menekankan agenda pembangunan teknokratik daripada visi ideologis yang mampu menyatukan rakyat dalam satu tujuan kebangsaan yang transformatif. Narasi nasionalisme Prabowo masih bersifat sloganistik dan belum menunjukkan kohesi ideologis yang konsisten, terutama dalam konteks hubungan antara negara dan modal.

Ada pelajaran yang bisa diambil Prabowo dari pengalaman Putin dalam membangun kekuasaan negara yang kokoh. Pertama, ia harus kembali pada visi awal yang pernah ia deklarasikan secara tegas. Paradoks Indonesia menunjukkan bahwa Prabowo memahami akar masalah ketimpangan struktural dan dominasi oligarki. Tantangannya adalah membuktikan bahwa ia mampu mengimplementasikan gagasan tersebut di tingkat kebijakan, meskipun itu berarti harus berhadapan dengan kekuatan politik dan modal yang menjadi bagian dari koalisinya. Putin menunjukkan bahwa keberanian politik untuk menegakkan kedaulatan negara atas modal adalah syarat mutlak untuk membangun kekuasaan yang berdaulat.

Kedua, Prabowo perlu memastikan bahwa negara berdiri di atas kekuatan modal, bukan sebaliknya. Ini tidak berarti memusuhi kelas pengusaha, tetapi memastikan bahwa negara memiliki kontrol penuh atas sektor-sektor strategis yang menjadi penopang kedaulatan ekonomi. Di Rusia, sektor energi menjadi tulang punggung kekuatan negara. Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam dan posisinya dalam geopolitik regional, juga memiliki peluang serupa jika negara mampu memainkan peran dominan, bukan sekadar sebagai regulator yang tunduk pada tekanan pasar.

Ketiga, konsolidasi kekuasaan harus bersifat institusional. Putin tidak hanya mengandalkan aliansi politik, tetapi juga membangun struktur kelembagaan yang menopang stabilitas jangka panjang kekuasaannya. Prabowo perlu membangun institusi negara yang kuat, dengan birokrasi yang loyal pada visi nasional, bukan pada kepentingan jangka pendek elite politik. Reformasi kelembagaan yang mendalam, termasuk di sektor hukum dan keamanan, menjadi krusial untuk menciptakan kekuasaan negara yang otonom.

Keempat, membangun narasi kebangkitan nasional yang ideologis dan konsisten adalah pekerjaan yang tidak bisa diabaikan. Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar janji pembangunan infrastruktur atau proyeksi pertumbuhan ekonomi. Dibutuhkan visi nasional yang menginspirasi dan membangkitkan semangat kolektif rakyat, sebagaimana Putin membangun gagasan “Rusia yang bangkit” dalam menghadapi ancaman eksternal dan internal.

Kesimpulannya, Vladimir Putin dan Prabowo Subianto sama-sama menyadari bahwa oligarki adalah ancaman bagi kedaulatan negara. Namun, Putin menunjukkan ketegasan untuk mengendalikan oligarki dan membangun kekuasaan negara yang otonom, sementara Prabowo masih tampak mencari keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme politik. Jika Prabowo ingin mewujudkan visinya tentang Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur, ia perlu mengambil langkah yang lebih berani dan konsisten dalam menghadapi kekuatan modal yang telah lama mendominasi panggung politik nasional. Hanya dengan menempatkan negara di atas semua kekuatan lain, Indonesia bisa benar-benar menjadi negara yang mandiri dan berdaulat, sebagaimana yang pernah dicita-citakan Prabowo dalam Paradoks Indonesia.===

Cimahi,23Maret2025

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
RAMADHAN 2025 H ABDUL WACHID
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
RAMADHAN 2025 M HAEKAL
advertisement
RAMADHAN 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Dugaan Konflik Kepentingan dalam Investasi Telkomsel di GOTO

Oleh Tim Teropong Senayan
pada hari Selasa, 25 Mar 2025
Jakarta, 25 Maret 2025- Dari investigasi yg didapat,muncul bukti baru yang memperkuat dugaan adanya keterlibatan orang dalam dalam keputusan investasi Telkomsel—anak perusahaan ...
Opini

Kejagung Harus Memastikan Pertamina Tidak Mengulang Lagi Penyimpangan Saat Pengadaan Minyak

JAKARTA - Pengadaan impor minyak mentah dan kondensat untuk kebutuhan kilang serta impor bahan bakar minyak (BBM) yang totalnya mencapai sekitar 1 juta barel perhari untuk memenuhi konsumsi BBM ...